Oleh: Eko Priyono, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Pajak adalah urat nadi kehidupan bernegara. Ia menjadi sumber utama pembiayaan berbagai program pembangunan, dari sektor pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur dan perlindungan sosial. Namun, sebesar apa pun kebijakan fiskal yang dirancang pemerintah, semua itu tak akan berarti tanpa partisipasi aktif masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Sayangnya, tingkat kepatuhan pajak di Indonesia masih belum optimal. Banyak yang belum memahami manfaat pajak, bahkan sebagian masih memandang pajak sebagai beban yang mengganggu penghasilan pribadi atau perusahaan. Dalam situasi inilah, edukasi perpajakan menjadi krusial sebagai alat strategis untuk membangun kesadaran kolektif.

Edukasi perpajakan tidak cukup hanya dengan menjelaskan aturan, prosedur, dan angka-angka. Ia harus menjadi bagian dari proses pembentukan karakter warga negara. Edukasi ini tidak berdiri sendiri, tetapi juga menjadi bagian integral dari sistem pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana dicita-citakan oleh Ki Hajar Dewantara.

Sebagai Bapak Pendidikan Nasional, beliau telah meletakkan dasar-dasar filosofis pendidikan yang berorientasi pada pembentukan manusia merdeka—merdeka dalam berpikir, merasa, dan bertindak. Tiga prinsip yang ia ajarkan, yakni Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani, memiliki relevansi yang kuat dalam merancang pendekatan edukasi perpajakan di Indonesia.

Prinsip Ing Ngarsa Sung Tuladha, yang berarti “di depan memberi teladan”, mengajarkan bahwa pemimpin harus lebih dahulu menunjukkan sikap yang patut dicontoh. Dalam konteks pajak, para pejabat publik, tokoh masyarakat, dan figur publik hendaknya menjadi pelopor dalam kepatuhan pajak. Ketika mereka membayar pajak secara tertib, melaporkan secara transparan, dan terbuka mengenai kontribusinya terhadap negara, maka masyarakat luas akan terdorong mengikuti. Keteladanan seperti ini menciptakan efek psikologis dan moral yang kuat.

Prinsip Ing Madya Mangun Karsa, yang bermakna “di tengah membangun semangat”, menekankan pentingnya membangkitkan partisipasi masyarakat. Edukasi perpajakan yang efektif perlu melibatkan masyarakat sebagai subjek aktif. Kita dapat menciptakan ruang dialog, diskusi, dan keterlibatan langsung agar nilai-nilai perpajakan benar-benar dipahami dan diterima. Program seperti “Pajak Bertutur” yang menyasar sekolah-sekolah, serta pelibatan relawan pajak dari kalangan mahasiswa, adalah contoh pendekatan partisipatif. Edukasi semacam ini bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membangun empati dan rasa tanggung jawab sosial.

Prinsip terakhir, Tut Wuri Handayani, atau “di belakang memberi dorongan”, mengandung makna bahwa setelah dibekali pemahaman, masyarakat perlu didukung untuk menjalankan kewajibannya. Di sinilah peran negara untuk menghadirkan sistem perpajakan yang mudah, transparan, dan akuntabel. Melalui layanan seperti contact center, pendampingan digital, dan peningkatan kualitas petugas pajak, negara dapat memberikan kepercayaan dan keberanian bagi masyarakat untuk bersikap jujur dan aktif.

Di era digital, pendekatan edukasi perpajakan juga harus menyesuaikan dengan dinamika teknologi dan gaya hidup masyarakat. Generasi muda, sebagai calon wajib pajak masa depan, lebih akrab dengan media sosial, video pendek, dan konten visual interaktif. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah memanfaatkan kanal-kanal digital seperti Instagram, YouTube, dan podcast untuk menyampaikan pesan edukatif secara ringan namun tetap substantif. Konten dalam bentuk infografis, komik digital, dan vlog mampu menyederhanakan isu perpajakan yang kompleks menjadi lebih mudah dipahami dan menarik diikuti. Inovasi ini menunjukkan bahwa edukasi tidak harus selalu formal atau kaku, asalkan substansinya tetap kuat.

Tak hanya itu, pemerintah juga telah melangkah lebih jauh dengan mengintegrasikan kesadaran pajak dalam kurikulum pendidikan. Melalui Program Inklusi Kesadaran Pajak, siswa dari jenjang SD hingga SMA dikenalkan pada konsep-konsep dasar perpajakan dalam konteks keseharian mereka. Dengan pendekatan yang ringan dan tidak teknis, peserta didik belajar bahwa pajak bukan sekadar urusan angka, tetapi bagian dari kontribusi sosial untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bersama. Nilai-nilai gotong royong, tanggung jawab, dan solidaritas yang ditanamkan sejak dini ini sejalan dengan karakter pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa.

Peran Seluruh Elemen

Namun, keberhasilan edukasi perpajakan tidak bisa diserahkan hanya kepada institusi perpajakan. Dunia pendidikan, media massa, organisasi masyarakat sipil, bahkan sektor swasta, perlu turut serta menjadi bagian dari ekosistem pembelajaran pajak. Pendidikan perpajakan harus bersifat lintas sektor dan lintas generasi. Kampus dapat mengintegrasikan mata kuliah perpajakan dalam program studi non-ekonomi, media massa dapat menayangkan program khusus atau kolom edukasi pajak, dan komunitas lokal bisa menyelenggarakan diskusi terbuka mengenai isu-isu perpajakan yang relevan. Sinergi ini akan memperluas jangkauan sekaligus memperdalam dampak dari edukasi yang dijalankan.

Edukasi perpajakan yang berpijak pada nilai-nilai Ki Hajar Dewantara akan melahirkan generasi yang sadar hak dan tanggung jawabnya sebagai warga negara. Mereka bukan hanya memahami bagaimana menghitung dan membayar pajak, tetapi juga menghayati pentingnya kontribusi dalam sistem kolektif yang adil. Ketika masyarakat tidak lagi melihat pajak sebagai beban, melainkan sebagai bentuk gotong royong untuk membangun masa depan bersama, maka sistem perpajakan akan berdiri di atas pondasi yang kokoh.

Jika strategi ini dijalankan dengan konsisten dan inklusif, bukan mustahil cita-cita Indonesia untuk memiliki tingkat kepatuhan pajak yang tinggi, partisipatif, dan berkeadilan dapat terwujud. Edukasi perpajakan tidak hanya akan menghasilkan penerimaan negara yang lebih besar, tetapi juga memperkuat identitas kebangsaan dan semangat kolektivitas dalam kehidupan bernegara. Seperti yang diajarkan Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang sejati bukan hanya mendidik kecerdasan, tetapi juga menumbuhkan jiwa merdeka —yang dalam konteks perpajakan berarti merdeka dalam berkontribusi untuk negeri.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.