Dengan langkah gontai, pria berkaus kelabu melangkah masuk ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bandar Lampung Dua pada beberapa pekan lalu. Di luar, hujan deras baru saja mengguyur. Pakaiannya basah terciprat air jalanan. Rambut ikalnya yang memutih tertiup angin. Petugas pengarah layanan yang berjaga membukakan pintu, tetapi ia hanya melangkah tanpa menoleh. Di genggamannya ada sepucuk “surat cinta” dari kantor pajak. Bagi sebagian orang, angka yang tercetak mungkin tak seberapa. Namun bagi pria yang usahanya ia akui sedang lesu itu, nominal yang tertulis terasa seperti beban berat.
Seketika petugas pengarah layanan itu menyapanya. “Selamat pagi, Bapak. Ada yang bisa kami bantu?”
Pamuji, namanya, menghela napas, lalu menjelaskan. “Saya dapat Surat Tagihan Pajak, Mbak. Kepada siapa saya harus bertemu?” Matanya tampak berkaca-kaca. Petugas mengarahkannya menuju loket penyuluhan.
Di sana, Gita, seorang penyuluh pajak, menyambut dengan senyuman. “Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”
Dengan suara bergetar, Pamuji menceritakan bagaimana kemarin lusa tidurnya terganggu oleh ketukan pintu tukang pos. Sebuah amplop berisi tagihan pajak sebesar Rp500.000 membuatnya kaget bukan main. Ia merasa sudah menaati aturan dan rutin melapor PPN bulanan. “Saya heran, Mbak. Kok, masih ada surat seperti ini,” katanya.
Gita mencermati penjelasan Pamuji. Ia bertanya, “Apakah Bapak wajib pajak yang dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP)?”
“Betul. Usaha saya baru terdaftar dan dikukuhkan bulan Januari 2025 dan berbentuk Perseroan Perorangan,” jawab pria berusia setengah abad itu, “tapi jujur, kondisi usaha sekarang sedang sulit. Saya yakin betul surat pemberitahuan (SPT) masa PPN januari sudah saya laporkan. Lalu, kenapa masih ada sanksi?”
Gita mengecek akun Coretax Pamuji. Hasilnya, laporan yang dimaksud ternyata masih tersimpan dalam draft, belum pernah benar-benar dikirim. “Pak, setelah mengisi formulir SPT, apakah sudah ditandatangani dengan Kode Otorisasi DJP?” tanya Gita dengan pelan dan menekankan.
Pamuji menatap. “Lho, Mbak. Saya kira setelah diisi, ya sudah selesai.”
Gita tersenyum, lalu menjelaskan. Di era Coretax, pelaporan pajak bukan hanya mengisi formulir. Wajib pajak harus menandatangani dokumen elektronik dengan kode otorisasi DJP (KO DJP). KO DJP adalah tanda tangan digital, pengganti tanda tangan basah. Tanpa itu, laporan hanya akan tersimpan sebagai draf.
Perlahan, Gita membimbingnya. Pertama, memastikan NPWP wajib pajak orang pribadi aktif dan valid. Kemudian, membuka laman coretaxdjp.pajak.go.id, memasukkan NIK, melengkapi nomor ponsel dan email untuk menerima kata sandi sementara. Pamuji seketika tersenyum tipis ketika sistem meminta swafoto biometrik. Rambut ikalnya basah, wajahnya tampak letih, namun fotonya sah diverifikasi. Tak lama, masuklah email dari DJP berisi surat penerbitan akun wajib pajak yang berisi kata sandi sementara.
Begitu akun berhasil diakses, langkah pertama adalah mengganti kata sandi dan menambahkan passphrase. Selesai. Akun Coretax Pamuji kini aktif. Tetapi, langkah belum usai. Gita kembali menjelaskan. Agar laporan SPT dianggap sah, wajib pajak harus membuat KO DJP yang berfungsi sebagai tanda tangan digital.
Langkahnya berlapis. Masuk ke menu “Portal Saya”, pilih “Permintaan Kode Otorisasi”. Pamuji mengisi data, memilih penyedia sertifikat, membuat passphrase pribadi, lalu menekan tombol “Kirim”. Notifikasi muncul: sertifikat berhasil dibuat. Dokumen pun bisa diunduh dan disimpan. Untuk memastikan KO DJP benar-benar aktif, ia memeriksa status di menu profil. Jika masih INVALID, cukup menekan “Periksa Status”. Hingga akhirnya, status sertifikat berubah VALID.
Melalui tahapan tersebut, sebuah akun Coretax tak hanya aktif, tetapi memberikan kekuatan yang sah pada dokumen SPT dan permohonan di dalamnya, setara dengan dokumen fisik yang dibubuhi tanda tangan. KO DJP menjadi jembatan hukum yang mengikat setiap proses, mulai dari pelaporan, pembayaran, hingga pengajuan permohonan layanan wajib pajak lainnya. Gita menjelaskan panjang lebar sembari mempraktikkan cara impersonate akun perusahaan pria yang memiliki bisnis tekstil itu.
“Oh, begitu, ya, Mbak!” ujar Pamuji. “Kalau begitu, saya masuk terlebih dahulu ke akun pribadi, kemudian impersonate akun perusahaan. Setelah itu, saya mengisi SPT masa PPN di akun perusahaan dan menyimpannya sebagai draft. Langkah berikutnya, saya beralih ke akun pribadi dan menandatangani draf SPT tadi dengan menggunakan KO DJP di akun pribadi saya. Begitu, kan, Mbak?” Pamuji coba menyimpulkan penjelasan dari Gita.
Tentang surat tagihan bernilai Rp500.000 itu, Gita menjelaskan bahwa Pamuji dapat mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi. Pria beranak tiga itu menghela napas panjang.
Hujan perlahan mereda dan cahaya mentari menembus jendela kantor bercat biru-kuning itu. Bagaikan langit cerah usai hujan berhenti, begitulah akhirnya Pamuji menemukan titik terang atas masalah yang ia hadapi.
| Pewarta: Yolanda Permata Yanra |
| Kontributor Foto: Yolanda Permata Yanra |
| Editor: Mohamad Ari Purnomo Aji |
*)Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 7 kali dilihat