Uganda Cegah Kecanduan Medsos dengan Pajak, Indonesia Kapan?

Oleh: Risang Ekopaksi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
“Kalau kata Mama karena kebanyakan main HP tuh, Kak,” komentar warganet setiap ada video lucu anak kecil menangis, orang terpeleset, atau filter yang membuat wajah kita menjadi abnormal.
Tiktok Lebih dari Alkohol
Selepas membuat konten memasak, Yesti, foodvlogger (red:pengulas makanan) asal Semarang kontan mengunggah video melalui akun Tiktok miliknya. Viral. Dua ratus komentar memenuhi notifikasi akunnya. Yesti baru saja tamat Sekolah Menengah Pertama ketika pandemi Covid-19 tahun lalu. Baginya pandemi menjadi titik balik, namun tidak bagi Dwi, Ibunya.
Pandemi bagaikan momok yang menghantui Dwi. Mengawasi putrinya agar tidak bermain gawai menjadi urusan tersendiri. Ia paham betul media sosial tidak layak digunakan remaja berusia 14 tahun. Dari jurnal Analisis Kecanduan Media Sosial Remaja Universitas Negeri Padang[1], 49% responden memiliki ketergantungan tinggi, mereka mengakses media sosial lima hingga enam jam setiap harinya.
Rasanya tidak masuk akal bermain Tiktok berbahaya, namun dalam studi terbaru oleh Harvard University,aplikasi Tiktok menghasilkan sirkuit saraf otak yang sepadan dengan narkoba dan judi, membuat candu. Bahkan ketika media sosial kita mendapat notifikasi, hal itu memicu reaksi kimia yang sama ketika seseorang mengonsumsi kokain. Fakta uniknya, kebanyakan responden bisa menahan untuk tidak minum alkohol dan seks daripada tidak membuka Tiktok. Wow!
Upaya Negara Mengurangi Kecanduan
Media sosial berujung kriminal bukan racauan belaka.Tahun 2019 lalu, seorang suami di Jakarta tega membunuh istrinya hanya karena memasang status janda di Facebook. Tak perlu jauh-jauh untuk mengetahui dampak media sosial, jika kita sering cemas karena unggahan tidak disukai atau kesal jika tidak ada respon dari video lucu yang kita kirim di grup whatsapp, maka kita termasuk orang yang perlu mendengar saran psikolog.
Negara adidaya pun juga dipusingkan dengan media sosial, kasus bunuh diri remaja 11 tahun akibat media sosial di Connecticut, Amerika Serikat (AS), membuat dua Senator AS Amy Klobuchar dan Cyhntia Lummis merumuskan Rancangan Undang Undang (RUU) Anti Ketergantungan Media Sosial. Keduanya membahas bersama Federal Trade Commision (red: Lembaga Perlindungan Konsumen AS) dan National Academy of Science. Belum ada tanggapan resmi dari Facebook dan Twitter, namun ini langkah yang baik.
Dari sisi timur Afrika, Pemerintah Uganda telah menerapkan pajak penggunaan media sosial sejak tahun 2018. Pajak dikenakan 200 Shiling Uganda atau berkisar Rp855,00 setiap harinya. Selain untuk mengurangi penggunaan media sosial, Pemerintah Uganda berharap mendapat pemasukan US$100 juta dari 17 juta pengguna internet aktif. Kebijakan itu membuat penurunan tiga juta pengguna pada tahun pertama pajak diterapkan.
Di Indonesia, upaya pengurangan terhadap ketergantungan melalui pungutan negara sudah lama diterapkan. Pungutan negara yang kita kenal dengan cukai bahkan sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, cukai dikenakan terhadap barang yang konsumsi atau pemakaiannya dapat menimbulkan dampak buruk terhadap masyarakat dan perlu untuk dikendalikan. Cukai dikenakan untuk etil, alkohol, dan tembakau. Media sosial?
Menerka Mendepa 'Biaya' Sosial Media
Jika atas dasar menggali potensi penerimaan pajak dari media sosial, Indonesia telah menerapkan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sejak Juli 2020. Penyedia layanan digital dengan kriteria tertentu, salah satunya 12.000 akses dalam satu tahun akan ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE. Facebook, Instagram, dan Tiktok ditunjuk sebagai pemungut pada Agustus 2020 lalu. Sebesar Rp3,92 triliun PPN terkumpul per 31 Oktober 2021.
Pengenaan PPN PMSE masih belum mencakup untuk mengurangi dampak gangguan mental akibat penggunaan media sosial. PPN PMSE hanya dikenakan atas transaksi yang dilakukan dari layanan. Misalkan kita membeli gim atau berlangganan aplikasi, maka kita akan dikenakan PPN sebesar 11%. Jika bisa meniru seperti Pemerintah Uganda, mungkin pajak akan dikenakan jika kita mengakses media sosial melebihi ambang batas wajar pemakaian harian atau sebelum masuk aplikasi, kita membayar pajak di muka. Rasanya hal ini mengingatkan kita dengan logo lumba-lumba di warung internet dekade lalu.
Dari data Internetworldstats, jumlah pengguna internet Indonesia pada bulan Juni 2021 sebanyak 76,3% dari seluruh populasi atau 212 juta pengguna. Indonesia menduduki peringkat tiga pengguna terbanyak di Asia setelah Tiongkok dan India. Pasar yang sangat besar bagi perekonomian. Untuk media sosial, Hootsuite memaparkan data penggunaan aktif berada di 170 juta pengguna, Hootsuite juga mencatat bahwa Indonesia menjadi 10 besar negara dengan tingkat kecanduan media sosial tertinggi di dunia.
Potensi pajak bisa kita gunakan perhitungan matematika mudah. Misalkan Kementerian Keuangan menetapkan bahwa penggunaan di atas tiga jam sehari sebagai ambang batas tidak wajar, lalu asumsikan sampel dari Jurnal Universitas Negeri Padang dapat mewakili seluruh populasi di Indonesia. Artinya 49% dari 170 juta pengguna media sosial dapat menjadi potensi pengenaan pajak. Hitungan kasar jika Indonesia menggunakan tarif yang sama dengan Pemerintah Uganda yaitu Rp855, maka Indonesia mendapat penerimaan negara Rp68 miliar setiap harinya atau Rp25,9 triliun setiap tahunnya. Sama dengan empat kali lipat penerimaan cukai alkohol tahun 2021 yang mencapai Rp5,6 triliun, padahal media sosial dan alkohol memiliki efek negatif yang sama. Fantastis.
Aral Terjal Pajak Media Sosial
Stigma gangguan kesehatan mental karena kerasukan setan dan kurang beribadah masih menempel di benak masyarakat Indonesia, padahal gangguan kesehatan mental adalah kondisi medis. Namun kabar baiknya, Nova Riyanti Yusuf, anggota Dewan Perwakilan Rakyat telah memperjuangkannya, RUU tentang kesehatan jiwa akhirnya diketok palu menjadi UU pada tahun 2014 setelah enam tahun diusulkan. Tentu UU ini menjadi senjata ampuh beleid pajak media sosial.
Mematikan atau membatasi koneksi media sosial tentu bukan solusi, perputaran ekonomi terlalu besar untuk dilenyapkan, media sosial adalah ajang promosi gratis bagi 64 juta UMKM di Indonesia.Bahkan seorang artis mengaku pernah rugi ratusan juta hanya karena akun instagramnya diretas selama tiga hari. Dari segi sosial, informasi media sosial bisa sangat bermanfaat, misal informasi potensi tsunami saat gempa dapat disebar dengan murah dan cepat melalui media sosial.
Tidak mudah untuk menerapkan pajak media sosial, selalu ada cara untuk menghindari pajak setiap zamannya. Jika menarik hal yang senada, Pemerintah Indonesia pernah menarik iuran untuk pemilik televisi pada 1970-an, namun petugas kesulitan ketika televisi disembunyikan atau mengaku telah dijual. Pun ketika Pemerintah Uganda juga kewalahan ketika akhirnya para pengguna media sosial menggunakan VPN (red: alat untuk mengubah alamat pengguna melalui jaringan lain).
De Regurelend
Penerapan pajak media sosial perlu dirumuskan dengan matang, tentu tidak bisa jika hanya melihat pendapatan negara saja atau kesehatan mental saja. Jangan sampai ketika menerapkan pajak media sosial malah membuat dunia usaha meredup. Selaras dengan kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam siniar bersama Deddy Corbuzier, ia menyebutkan bahwa kebijakan harus melihat banyak aspek. Kalangan kesehatan saat itu bersikeras menaikkan cukai rokok setinggi-tingginya. Hal itu tentu berdampak negatif terhadap komunitas petani cengkeh, petani tembakau, dan pekerja kretek. Alhasil, kenaikan untuk industri sigaret kretek lebih rendah daripada rokok buatan mesin. Arif, Bu.
Kita mestinya tahu amanat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, “Menimbang bahwa negara menjamin setiap orang hidup sejahtera lahir dan batin serta memperoleh pelayanan kesehatan yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Jalan masih panjang untuk penerapan pajak media sosial. Jika nyatanya pajak media sosial bermanfaat dan berdampak baik, masih perlu perjuangan dan pengorbanan politik. Bagaimana tidak, media sosial adalah ‘hajat hidup’ bagi 170 juta warga Indonesia, jumlah yang besar dari warga yang memiliki hak pilih dalam pemilihan umum, termasuk Dwi.
Bagi Dwi--yang pada saat belanja sayur bersama tetangga mengeluhkan perilaku Yesti--mungkin tidak masalah, namun bagi Yesti yang memiliki banyak pengikut setia bisa menjadi bola salju. Yesti yang pada minggu kemarin mengeluh soal kemunculan jerawat di mukanya saja bisa viral apalagi pajak, duh.
“Mama,aku keluar jerawat lagi ini,”geram Yesti dan sudah diduga jawaban Dwi, “Makanya jangan HP terus!”
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja
- 690 kali dilihat