Tendangan Penalti pada PPN Sembako

Oleh: Ahmad Dahlan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Timnas Portugal menang 3-0 atas Hungaria dalam laga fase grup Euro 2020 (Euro 2021) di Stadion Puskas Arena, Budapest, Selasa (15/6) malam waktu Indonesia. Cristiano Ronaldo menyumbang tiga gol, satu di antaranya melalui tendangan penalti pada menit ke-87. Eksekusi pemain berjuluk CR7 itu ke sisi kiri gawang mengecoh kiper Gulacsi yang bergerak ke kanan.
Dalam buku berjudul “Think Like a Freak” yang ditulis oleh Steven D. Levitt dan Stephen J. Dubner, ditulis begini: Kebanyakan pemain bola merupakan penendang kaki kanan. Ini berarti tendangan ke arah sudut kiri gawang pada tendangan penalti merupakan tendangan yang lebih kuat ketimbang ke sudut kanan. Tentu saja hal itu diketahui oleh penjaga gawang. Itu sebabnya berdasarkan penelitian, 57% para penjaga gawang melompat ke arah kanan (kiri penendang) dan ke arah kiri hanya 41%. Itu artinya, penjaga gawang hanya berdiri di tengah (tidak melompat ke kiri maupun ke kanan) hanya 2%.
Kalau begitu, masih menurut buku itu, tendangan ke tengah gawang secara signifikan lebih mungkin berhasil. Namun faktanya, dalam penalti, hanya 17% tendangan yang diarahkan ke tengah gawang. Mengapa sedikit sekali? Salah satu alasan yang terpenting adalah: rasa takut malu. Penendang yang mengarahkan bola tepat ke arah penjaga gawang berdiri, oleh orang-orang akan dianggap bodoh. Dan orang yang berpikir bahwa tendangan ke tengah gawang lebih mungkin berhasil ketimbang ke sudut gawang, akan dianggap berpikiran tak lazim.
Pada kasus di atas, seorang Ronaldo pun tidak mau mengambil risiko akan dianggap bodoh oleh orang-orang.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbisnis, berpolitik, berekonomi, dan sebagainya, banyak pemikiran-pemikiran yang dianggap aneh. Namun jika ditelisik lebih dalam, pemikiran tersebut bisa jadi adalah sesuatu yang masuk akal. Bahkan tidak jarang merupakan pemikiran yang dapat menghasilkan output atau pun income yang lebih baik daripada yang dipikirkan kebanyakan orang.
Beberapa hari ini, di media ramai pemberitaan ihwal barang-barang kebutuhan pokok (sembako) yang katanya akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ini karena telah beredar draf RUU KUP yang di antara usulannya adalah pengenaan PPN atas sembako itu.
Aturan yang berlaku saat ini, sesuai Pasal 4A ayat (2)b UU PPN, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak dikecualikan dari pengenaan PPN. Atau dengan kata lain, barang-barang tersebut dikategorikan sebagai barang tidak kena PPN (non-BKP). Barang-barang itu meliputi beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Berdasarkan draf RUU KUP yang beredar itu, pengecualian barang-barang kebutuhan pokok sebagai barang kena pajak dihapus. Itu artinya, nanti barang-barang tersebut akan dikenakan PPN.
Tentu saja hal tersebut menimbulkan reaksi di masyarakat, yang sebagian besar reaksinya negatif. Tidak adil, tidak berpihak kepada rakyat kecil yang sedang terdampak COVID-19, akan menimbulkan inflasi, dan semisalnya adalah beberapa contoh reaksi negatif itu. Namun seandainya nanti, benar bahwa sembako akan dikenakan PPN, apakah hal-hal negatif yang dikhawatirkan sebagian besar masyarakat itu akan terjadi?
Dibandingkan dengan Pajak Penghasilan (PPh), PPN memang lebih bersifat tidak adil. Salah satu penyebabnya adalah karena karakteristik dari masing-masing pajak itu sendiri. PPh merupakan pajak subjektif, artinya pajak akan dikenakan tergantung siapa subjeknya atau pelakunya. Kalau subjeknya memperoleh penghasilan kena pajak, maka PPh akan dikenakan kepada subjek tersebut. Berarti PPh dikenakan hanya kepada orang yang mampu.
Sementara PPN merupakan pajak objektif. Pajak akan dikenakan atau tidak dikenakan tergantung objek atau barang/jasanya, tanpa melihat siapa yang membeli atau mengonsumsi barang/jasa tersebut. Sehingga, siapa pun orangnya, kaya atau miskin, kalau membeli barang kena pajak ya harus bayar pajak.
Untuk mengurangi ketidakadilan ini, UU PPN yang berlaku selama ini mengecualikan barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat dari pengenaan PPN. Sampai di sini, adanya reaksi negatif masyarakat pada umumnya akibat dihapuskannya pengecualan tersebut, sangat bisa dimaklumi.
Namun barangkali yang selama ini belum terpikirkan oleh khalayak adalah bahwa ternyata pengecualian barang-barang kebutuhan pokok itu justru menimbulkan ketidakadilan lain. Pasalnya, yang menerima “fasilitas” tidak kena PPN itu tidak hanya masyarakat miskin, orang-orang kaya pun menikmati fasilitas tersebut. Karena orang kaya pun membutuhkan barang-barang yang dikecualikan itu.
Dengan dihapuskannya barang-barang kebutuhan pokok dari barang yang dikecualikan dari pengenaan PPN itu, berarti menghilangkan dampak negatif lain sebagaimana disebutkan di atas. Pun, agar PPN tetap berpihak pada rakyat kecil, dapat dilakukan beberapa alternatif.
Pertama atas barang-barang kebutuhan pokok yang dijual di pasar tradisional, tidak kena pajak. Sementara untuk barang-barang kebutuhan pokok yang dijual di pasar modern (sembako premium) dikenakan pajak. Sebenarnya dengan adanya aturan tentang pengusaha kecil, secara otomatis sembako yang dijual di pasar tradisional kemungkinan besar tidak kena PPN.
Sebagaimana kita ketahui, selama ini berlaku ketentuan bahwa pengusaha kecil (dengan batasan yang berlaku saat ini, pengusaha dengan omzet dalam satu tahun tidak lebih 4,8 miliar rupiah) tidak diwajibkan memungut PPN, artinya atas barang yang dijual meskipun sejatinya merupakan BKP, tidak kena PPN. Tampaknya ketentuan ini tidak akan mengalami perubahan, kecuali barangkali besaran batasan peredaran usahanya.
Alternatif kedua agar PPN tetap berpihak kepada rakyat kecil adalah, untuk jenis sembako tertentu yang benar-benar sangat dibutuhkan rakyat kebanyakan (misalnya beras, telur, dan semisalnya), tetap sebagai BKP tetapi mendapat fasilitas PPN tidak dipungut.
Ini berbeda ketika sembako dikategorikan sebagai barang tidak kena pajak (non-BKP). Perbedaannya ketika terjadi penjualan non-BKP, pengusaha tidak diwajibkan melaporkannya dalam SPT PPN secara detail, hanya nilai penjualannya saja. Sementara atas penjualan BKP, meskipun mendapat fasilitas PPN tidak dipungut tetap harus dilaporkan secara detail (termasuk nama dan NPWP lawan transaksi) di SPT PPN.
Perubahan status sembako dari yang semula tidak kena PPN menjadi kena PPN menguntungkan bagi pemerintah. Yang utama tentu saja menambah penerimaan pajak dari jenis pajak PPN. Di samping itu, dengan kewajiban laporan data penjualan BKP secara detail di SPT PPN, hal ini dapat dijadikan alat pengawasan melalui data SPT PPN lawan transaksi. Dengan begitu, kewajiban PPh-nya pun dapat sekalian terawasi, sehingga tidak menutup kemungkinan mampu menambah penerimaan pajak dari jenis pajak PPh.
Penambahan penerimaan pajak itu, pada akhirnya, sebagiannya akan dikembalikan kepada rakyat kecil melalui program-program bantuan sosial terutama kepada masyarakat yang paling rentan terdampak COVID-19.
Harapan dari semua itu, kebijakan pemerintah menjadikan sembako sebagai barang kena PPN merupakan kebijakan layaknya penendang penalti yang menendang bola ke arah tengah gawang. Dianggap aneh, tetapi justru memliki peluang kebaikan lebih besar daripada kebijakan sebelumnya. Semoga.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 437 kali dilihat