TEA, Lampu Hijau Berburu Bukti ke Mancanegara

Oleh: Banon Keke Irnowo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Benar kata para pecandu traveling: “Dunia sudah tidak lagi berbatas”. Sangat mudah orang berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain dalam waktu singkat. Bukti sederhananya saja, paket-paket perjalanan wisata ke luar negeri dijual seperti kacang goreng.
Saat ini biaya tiket Jakarta ke Singapura bisa lebih murah dari pada Jakarta ke Surabaya dengan ragam promo yang ditawarkan. Dahulu kita berpikir 1000 kali untuk bisa liburan ke luar negeri. Namun saat ini, liburan ke negeri sendiri rasa-rasanya seperti ada yang kurang begitu. Seperti rundungan viral: “Piknikmu kurang jauh, Lurr!”
Ternyata hal ini dialami juga oleh para auditor pajak di seluruh dunia. Dengan bentuk restrukturisasi usaha auditee yang terpecah-pecah ke segala penjuru dunia, memaksa auditor harus pintar-pintar mencari bukti bahkan hingga ke luar negeri. Dahulu, auditor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kita harus berpikir keras atau bahkan tidak mungkin sama sekali mendatangi sumber bukti ke luar negeri, tetapi tidak saat ini. Dengan ditetapkan aturan terbaru akhir Januari 2020 kemarin, menjadi babak baru pencarian bukti menembus batas kedaulatan suatu negeri.
Tax Examination Abroad adalah penanda bahwa saat ini babak baru tersebut telah dimulai. Lalu, metode pemeriksaan apakah TEA ini? Apa kelebihannya? Kekurangannya apa? Peluang dan hambatannya bagaimana?
Tax Examination Abroad sering disingkat TEA, begitulah namanya diberi. Tidak berani penulis alihbahasakan lagi. Diterima saja tetap dalam bahasa asing. Karena dalam aturan setingkat menterinya memang tidak ditranslasi. Bahkan aturan yang baru terbit setingkat eselon I ini pun tidak mau dialihbahasakan juga. Mungkin pembuat aturan tidak mau maknanya terdeviasi.
TEA didefinisikan sebagai kehadiran perwakilan DJP dalam rangka pencarian dan/atau pengumpulan Informasi yang dilakukan oleh otoritas perpajakan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, atau sebaliknya, berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Bicara kelebihan, TEA memungkinkan Tim Pemeriksa, Petugas Pemeriksa Pajak atau Penyidik Pajak dapat memburu bukti hingga ke luar negeri. Dahulu, kendala kedaulatan negara menjadi faktor utama ditolaknya seseorang masuk dalam suatu yuridiksi lain untuk mengaudit. Mana ada negara yang mengizinkan wilayah kedaulatannya diobok-obok negara lain. Salah-salah bisa jadi dianggap kegiatan memata-matai yang bisa diancam hukuman mati. Makanya, sangat diperlukan adanya perjanjian internasional yang menyepakati masing-masing negara secara ikhlas menerima negara lain untuk datang mencari informasi.
Indonesia dalam hal ini telah meratifikasi perjanjian multilateral Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan/ Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters atau biasa disingkat MAC. Perjanjian ini mengizinkan DJP kita bisa melakukan TEA di negara yang juga menandatangi MAC. Jadi, lampu hijau untuk pemeriksa kita untuk memburu bukti hingga ke luar negeri. Literally, ke luar negeri!
Namun jangan lupa, kalau kita juga berkewajiban mengikhlaskan negara lain mendatangi Indonesia. Hal ini sesuai dengan asas resiprokalitas perjanjian yang telah diikat. Relakah kita? Bagaimana kalau informasi yang mereka kumpulkan di Indonesia melampaui relevansi kasus yang mereka tangani? Bagaimana data informasi yang mereka peroleh dari Indonesia akan ditindaklanjuti? Bagaimana mereka menjaga keamanan informasinya? Bagaimana kalau disalahgunakan untuk kepentingan lain selain perpajakan?
Kemungkinan paling buruk seperti terjadi di film-film agen mata-mata asing yang mencuri informasi dari negara lain. Sungguh berlebihan memang. Namun, risiko ini tidak dapat kita eliminasi, setidaknya harus dimitigasi. Makanya, pengaturan petunjuk teknisnya harus betul-betul mengatur aturan main yang jelas mengenai batasan dan kewenangan masing-masing pihak yang terlibat dalam TEA.
Bicara peluang, TEA cukup menjanjikan peningkatan penerimaan pajak. Pasalnya, ketika bukti dapat diperoleh dari pihak ketiga/ independen, maka bukti tersebut merupakan bukti dengan derajat pembuktian yang terkuat di mata hakim dalam suatu sengketa perpajakan. Apabila bukti tersebut diperoleh, tentu sengketa-sengketa pajak akan diselesaikan secara meyakinkan dan adil karena didukung bukti yang valid dan kompeten.
Sedangkan, untuk hambatan akan banyak berada di tangan pejabat yang berwenang di Yuridiksi Mitra. Masalah koordinasi yang disoroti nantinya. Permasalahannya terletak pada persetujuan boleh atau tidaknya proposal TEA dari Indonesia diterima. Hal ini mengingat hukum domestik di beberapa negara mitra untuk memasuki wilayah negaranya masih sangat ketat, apatah lagi melakukan kegiatan pemeriksaan disana. Tidak dapat dipungkiri bahwa kedaulatan/ sovereignty bagi suatu negara adalah harga mati.
Untuk menjadi besar maka kita harus mengerjakan hal-hal yang besar dengan cara yang besar pula. Premis tersebut sangat pas sejatinya apabila menilik terbitnya aturan TEA ini. Tanggung jawab besar yang diberikan kepada DJP sebagai penghimpun penerimaan negara harus difasilitasi dengan kewenangan dan kapasitas yang besar untuk menyukseskannya.
TEA menjadi produk mekanisme yang besar karena dapat membongkar tembok kedaulatan sebuah negara yang mustahil untuk ditembus. Dalam hal ini, nampaknya demi memerangi musuh sama yaitu pengemplang pajak, seluruh negara di dunia sepakat untuk membuka kedaulatannya boleh ditembus dengan catatan hanya untuk perpajakan. Tidak untuk hal lain.
Akhinya dengan terbitnya aturan ini, secara konservatif kita berharap penerimaan pajak setiap tahun akan selalu mencapai target yang ditetapkan. Ya, tercapai!
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja
- 100 kali dilihat