Oleh: Dan Nembesa Ginting, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Sektor properti global diwarnai dengan ketidakpastian seiring dengan prospek pertumbuhan ekonomi yang masih berjalan lambat. Hal ini dipicu oleh meningkatnya tensi geopolitik, perlambatan ekonomi di Tiongkok, dan gejolak di Amerika-Eropa. Sementara itu, pengusaha properti juga diperkirakan masih menghadapi tekanan finansial akibat keterbatasan sumber keuangan dan akses pendanaan.

Saat ini, suku bunga acuan Bank Indonesia menembus 6,25% dan terjadi pelemahan nilai tukar rupiah. Hal ini tentu berdampak keras kepada sektor properti. Peningkatan suku bunga ini sangat erat kaitannya dengan kenaikan harga properti dan beban bunga nasabah baru yang akan mengambil baik kredit pemilikan rumah (KPR) maupun kredit pemilikan apartemen (KPA). Belum lagi, masalah ini berdampak kepada pengusaha developer baru yang akan melakukan pembangunan, seperti kenaikan bahan bangunan terkait valas dan kesulitan menarik kredit modal baru.

Sektor properti merupakan salah satu leading sector dalam menggerakkan perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari realisasi investasi industri properti yang menduduki peringkat keempat terbesar. Selain itu, sektor properti memberi kontribusi kepada Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 16% setiap tahunnya, diikuti dengan multiplier effect 185 subsektor industri lainnya. Tentu hal tersebut sangat berdampak dari sisi output, pendapatan, supplier, hingga jasa perbankan. Sektor ini juga berkontribusi sebesar 31,9% terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada pemerintah daerah. Terakhir, sektor properti menyumbang lapangan kerja sekitar 10,2% dari total tenaga kerja di Indonesia.

Pemerintah sangat peduli terhadap isu ini. Berbagai langkah kebijakan telah dilaksanakan sejak era Covid-19, termasuk pemberian insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) atas penyerahan rumah tapak dan satuan rumah susun. Pemerintah kembali memperpanjang insentif ini hingga akhir tahun 2024 dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7 Tahun 2024 Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Saturan Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2024 (PMK 7/2024), yang mulai berlaku 13 Februari 2024.

Insentif ini diberikan atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) maksimal dua miliar rupiah yang merupakan bagian dari harga jual paling banyak lima miliar rupiah. Sebagai contoh, Pak Z membeli rumah seharga lima miliar rupiah. Atas transaksi tersebut, Pak Z mendapatkan insentif PPN DTP hanya untuk DPP dua miliar rupiah saja. Dengan kata lain, Pak Z mendapatkan insentif PPN sebesar Rp220 juta rupiah atau tarif PPN 11% dikali Rp2 miliar. Berbeda apabila Pak Z membeli rumah dengan harga enam miliar rupiah. Pak Z tidak dapat memanfaatkan insentif PPN DTP tersebut karena harga jual melebihi lima miliar rupiah.

Namun, periode insentif 100% PPN DTP hanya sampai 30 Juni 2024. Selanjutnya, insentif PPN DTP berkurang menjadi 50% dari periode 1 Juli 2024 sampai dengan 31 Desember 2024. Hal yang perlu diperhatikan adalah kebijakan ini hanya dapat dimanfaatkan satu kali oleh warga negara Indonesia atau warga negara asing. Selain itu, insentif ini hanya diberikan atas penyerahan rumah tapak baru atau satuan rumah susun baru yang telah mendapatkan kode identitas rumah dari aplikasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan/atau Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat.

Perlu diketahui bahwa rumah yang mendapat fasilitas merupakan rumah yang diserahkan pertama kali oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual yang menyelenggarakan pembangunan rusun atau rumah tapak dan sebelumnya rumah tersebut belum pernah dilakukan pemindahtanganan. Selanjutnya, rumah tapak atau satuan rumah susun tersebut tidak boleh dipindahtangankan dalam jangka waktu satu tahun sejak penyerahan.

Pemanfaatan insentif ini juga dapat dilakukan dengan skema cicilan walaupun pembayaran uang muka telah dilakukan sebelum berlakunya PMK 7/2024 asal tidak lebih lama dari tanggal 1 September 2023. Untuk penandatanganan Akta Jual Beli (AJB) atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPAJB) harus dilakukan paling lambat tanggal 30 Juni 2024 (mendapatkan 100%) atau periode setelahnya mulai tanggal 1 Juli hingga 31 Desember 2024 (mendapatkan 50%). Terakhir, atas penyerahan rumah wajib dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima (BAST). Penyerahan BAST paling lambat tanggal 30 Juni 2024 (mendapatkan 100%) atau periode setelahnya mulai tanggal 1 Juli hingga 31 Desember (mendapatkan 50%).

Para pengembang masih memiliki jangka waktu dua bulan untuk membangun rumah hingga tanggal 30 Juni 2024 (mendapatkan 100%) dan delapan bulan hingga tanggal 31 Desember 2024 (mendapatkan 50%). Kebijakan insentif PPN DTP ini hanya diberlakukan untuk hunian komersial non-subsidi yang tersedia siap pakai.

Dari sisi pembeli, pemberian insentif ini diharapkan dapat membantu masyarakat dalam pembelian rumah dengan harga terjangkau, dengan potensi peningkatan permintaan yang akan memberikan dampak positif pada sektor properti. Untuk skala besar, tujuan pemberian insentif ini adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional di tengah dinamika perekonomian global melalui peningkatan daya beli properti oleh masyarakat.

Dari sisi penjual, pemberian insentif ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi industri properti secara keseluruhan. Perusahaan mengalami peningkatan penjualan rumah hunian kepada masyarakat. Perusahaan berharap insentif ini dapat berlangsung hingga tahun 2025 mendatang.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.