Oleh: (Astriana Widyawirasari), pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Baru-baru ini, pemerintah merilis Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMK 37/2025). PMK 37/2025 ini menuai sejumlah tanggapan dari berbagai pihak, khususnya para pedagang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang mempertanyakan maksud dan tujuan dari diterbitkannya beleid ini.

Secara prinsip, peraturan ini bermaksud untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan administrasi serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pemungutan pajak, terutama dalam mekanisme perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Mengapa demikian? Mari kita simak bersama fakta berikut ini.

Data PMSE

Transaksi perdagangan melalui sistem elektronik di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat pesat selama tiga tahun terakhir ini. Bank Indonesia (BI) memperkirakan nilai transaksi e-commerce mencapai Rp453,75 triliun sepanjang tahun 2023. Sementara itu, selama tahun 2024 nilai transaksi e-commerce di Indonesia meningkat 7,3% menjadi Rp487 triliun.

Indonesia juga menjadi negara dengan nilai penjualan e-commerce terbesar di Asia Tenggara, dengan nilai total penjualan neto sebesar US$64 miliar. Lebih lanjut lagi, BI memprediksi nilai transaksi e-commerce tumbuh 3,3% menjadi Rp503 triliun pada tahun 2025. Data tersebut menyimpulkan bahwa transaksi PMSE seyogyanya diberikan perhatian khusus dari pemerintah mengingat nilainya yang cukup signifikan.  

Merunut ke belakang, beberapa tahun belakangan ini memang telah terjadi pergeseran wujud perdagangan yang semula konvensional menjadi online. Hal ini dipicu oleh adanya perkembangan internet dan teknologi informasi yang memungkinkan konsumen untuk melakukan transaksi pembelian dan bertransaksi secara online.

Selain itu, juga terjadi pergeseran perilaku konsumen di mana konsumen menjadi lebih memilih berbelanja secara online karena lebih efisien, menarik dengan adanya promo-promo, dan bersahabat dengan kantong karena harganya yang cenderung lebih miring. Kondisi ini semakin dapat dirasakan sejak era pandemi Covid-19 yang telah mempercepat transisi dari transaksi jual beli secara offline menjadi online karena adanya kebijakan lockdown dan pembatasan interaksi fisik kala itu.

Pajak UMKM Sebelum PMK 37/2025

Jika kita telisik lebih jauh lagi mengenai bagaimana perlakuan pajak atas penghasilan usaha para pelaku UMKM, kita bisa merujuk ke Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022). PP 55/2022 mengatur bahwa penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai pajak penghasilan yang bersifat final (PPh Final UMKM) dalam jangka waktu tertentu.

Tarif PPh Final UMKM tersebut ditetapkan sebesar 0,5%. Fasilitas ini dapat digunakan sepanjang peredaran bruto wajib pajak dalam negeri itu tidak melebihi 4,8 miliar dalam kurun waktu satu tahun pajak.

Melalui PP 55/2022, diatur bahwa hanya pelaku UMKM saja yang dikenakan PPh Final dengan tarif 0,5% tersebut, baik atas peredaran bruto dari transaksi secara offiline maupun online. Adapun mekanisme pelunasannya dilakukan dengan cara melakukan penyetoran sendiri ke kas negara sejumlah pajak yang terutang. Lalu bagaimana pelunasan PPh Final yang diatur dalam PMK 37/2025? Apakah itu pajak baru? atau justru merupakan bentuk kemudahan bagi wajib pajak dalam melakukan pelunasan pajak?

Dari “Disetor Sendiri” Menjadi “Dipungut”

Dengan adanya PMK 37/2025, mekanisme penyetoran sendiri PPh Final UMKM sebesar 0,5% dari peredaran bruto oleh para pelaku UMKM diubah menjadi dipungut oleh lokapasar (marketplace). Dalam hal ini, PMK 37/2025 melimpahkan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk dapat menunjuk marketplace sebagai pemungut PPh. Adapun PPh yang dimaksud dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pedagang online dari transaksi secara elektronik yang dilakukannya melalui marketplace.

Jenis PPh yang dipungut adalah PPh Pasal 22. Hal ini menegaskan bahwa pajak 0,5% dari peredaran bruto yang diatur dalam PMK 37/2025 bukanlah pajak baru. Hanya saja, penyetoran yang semula dilakukan sendiri diubah menjadi dipungut oleh marketplace terkait. Dengan demikian, sudah jelas bahwa semangat dari PMK 37/2025 ini adalah bertujuan untuk memberikan kemudahan adminstrasi bagi pedagang online dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Pasalnya, seluruh administrasi perpajakan akan diambil alih oleh marketplace.

Mekanisme pemungutan juga dapat dikatakan menjadi lebih mudah karena dokumen tagihan yang dibuat oleh pedagang online yang dihasilkan dari sistem elektronik dipersamakan dengan bukti pemungutan PPh Pasal 22.  Tidak hanya sekadar penyetoran pajaknya saja, tetapi kewajiban pelaporan pajaknya juga akan diambil alih oleh marketplace. Tentunya, hal ini akan mengurangi beban adminstrasi pedagang online sehingga mereka dapat lebih fokus dalam mengembangkan usahanya.

Keberpihakan Pemerintah kepada UMKM

Lebih lanjut, ketentuan bagi wajib pajak orang pribadi yang memiliki omzet sampai dengan Rp500 juta dalam satu tahun pajak juga tetap tidak dikenai PPh. Dengan kata lain, tidak ada perubahan ketentuan baik bagi pedeagang online maupun offline.

Yang membedakan hanyalah ketika pedagang online orang pribadi melakukan transaksi perdagangan di marketplace. Pedagang tersebut harus menyampaikan informasi kepada marketplace berupa surat pernyataan yang menyatakan bahwa pedagang tersebut memiliki omzet pada tahun pajak berjalan sampai dengan Rp500 juta. Jika surat pernyataan tersebut tersedia, maka pihak marketplace tidak melakukan pemungutan PPh atasnya.

Dengan berlakunya PMK 37/2025, pemerintah memberikan kemudahan dan kesederhanaan administrasi perpajakan, khususnya kepada pedagang online UMKM. Di samping itu, pengaturan ini tidak menimbulkan jenis pajak baru. Ketentuan baru ini juga tetap berpihak kepada UMKM, di mana omzet sampai dengan Rp500 juta bagi UMKM orang pribadi tetap tidak terutang pajak serta tarif 0,5% atas omzet juga masih tetap berlaku.

Justru ketentuan baru ini memberikan kemudahan bagi wajib pajak UMKM karena mereka tidak perlu lagi melakukan penyetoran pajak sendiri, tetapi akan dipungut dan disetor oleh pihak lain, dalam hal ini adalah marketplace.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.