Paradoks Pemajakan Orang Kaya
Kerap kita mendengar bahwa 70% kekayaan Indonesia hanya dikuasai oleh 1% dari rakyat Indonesia. Dengan kata lain jika populasi kita lebih dari 284 juta penduduk maka hanya 2,84 juta penduduk yang telah menikmati “kesejahteraan” dan “kemakmuran” sebagaimana yang dicita-citakan republik sejak berdiri.
Mengapa hal ini terjadi? Apakah karena 1% penduduk bekerja lebih keras dan giat sehingga mereka berhak untuk menikmati hasil kerja keras mereka? Ataukah ada kesalahan sistem yang selama ini luput dari penglihatan kita?
Negara memiliki peran untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan melindungi mereka yang terpinggirkan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pajak memiliki empatfungsi utama, yaitu anggaran, regulerend (mengatur), stabilitas, dan redistribusi pendapatan.
Sejauh ini kita masih memiliki pekerjaan rumah dalam mendorong fungsi pajak sebagai redistribusi pendapatan. Pajak memiliki peran penting dalam menekan kesenjangan sosial dan menyejahterakan rakyat. Lantas, sejauh mana efektivitas fungsi pajak sebagai redistribusi pendapatan? Menurut saya, memajaki orang kaya adalah jawabannya. Namun, mengapa hal ini begitu sulit?
Memajaki orang kaya adalah bentuk nyata paradoks perpajakan yang terjadi di seluruh belahan dunia termasuk Indonesia. Ketika distribusi “kue” ekonomi yang dinikmati lebih banyak oleh pemilik aset tertinggi namun kenyataannya kontribusi tertinggi perpajakan justru datang dari pajak konsumsi atau pajak pertambahan nilai (PPN) bukan pajak penghasilan (PPh).
Dengan kata lain, manfaat yang diterima dari pembangunan tidak linear atas kontribusi terhadap negara. Oleh karena itu, kita rasakan kesenjangan masih menjadi masalah di republik ini. Rasio Gini Indonesia pada Maret 2025 tercatat sebesar 0,375. Jurang si kaya dan si miskin semakin lebar.
Sampai saat ini masih terdapat banyak ruang untuk pemajakan terhadap mereka yang sering kita sebut dengan High Wealth Individuals (HWI). Namun, terdapat beberapa hambatan dalam pemajakan kepada HWI.
Wajarnya, mereka yang kaya harus berkontribusi lebih tinggi. Begitulah prinsip pajak, ketika ada distribusi pendapatan dari yang kaya kepada yang rentan. Dalam buku Taxing the Rich “A History of Fiscal Fairness in the United States and Europe” karya Kenneth Scheve dan David Stasavage (2016), mereka menyarankan mengapa negara perlu memajaki orang kaya.
Ada dua hal yang mereka paparkan: kompensasi dan kemampuan membayar. Orang-orang kaya akan memiliki kompensasi yang lebih besar untuk menikmati sejumlah fasilitas pemerintah dan akses kepada para pemangku kepentingan. Sebagai pemilik modal, hubungan orang-orang kaya akan lebih banyak mengisi ruang kompensasi tersebut –-apalagi jika berhubungan dengan fasilitas dan insentif.
Oleh karena itu, kaum elit ekonomi harus dipajaki lebih tinggi akibat kompensasi yang diberikan juga lebih tinggi dibandingkan masyarakat rentan.
Kenneth dan David (ibid) menyoroti terkait kemampuan bayar. Jika kita berbicara tentang pajak –baik pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, atau bahkan pajak bumi dan bangunan– kita akan selalu membahas kemampuan bayar atau yang sering diistilahkan ATP (Ability to Pay).
Kapasitas aset yang tinggi tidak menjadi kendala berarti bagi orang mampu dalam membayar pajak. Namun, faktanya terjadi sebaliknya –itulah paradoksnya. Kemampuan bayar menjadi hal paling mutlak dalam pembayaran pajak. Ini paling esensial dalam proses pembayaran pajak.
Kemampuan bayar dapat ditinjau dari penghasilan yang diterima, aset yang dimiliki, atau modal yang ditanam dalam instrumen investasi. Salah satu instrumen investasi yang kerap digunakan HWI adalah surat berharga negara (SBN) atau obligasi Republik Indonesia (ORI) dengan imbal hasil yang kompetitif dalam pasar modal.
Peningkatan tarif pajak dapat menjadi opsi alternatif untuk mengoptimalkan sumber pendapatan dari sisi HWI. Saat ini tarif pajak bunga SBN yaitu 10%, dengan pembayaran bunga utang di angka Rp500 triliun tiap tahun. Peningkatan tarif menjadi 20%-25% dengan threshold nilai investasi di atas Rp1 miliar dapat menjadi quick win untuk mendongkrakpenerimaan negara. Hal tersebut hanya menjadi salah satu opsi mudah bagi negara untuk menekankan fungsi redistribusi pendapatan.
Saya yakin akan banyak jalan menuju Roma. Namun, hal paling mendasar yang perlu kita sepakati adalah apakah pajak benar-benar memiliki fungsi redistribusi pendapatan ataukah pemerataan kesejahteraan dapat kita penuhi melalui pembiayaan lainnya.
Sejatinya, peningkatan aset dan penghasilan beriringan secara konsisten dengan kontribusi pajak seseorang. Hal tersebut sejalan dengan kemampuan bayar dan fungsi redistribusi pendapatan. Secara ideal negara yang kita cintai menganut asas gotong royong dan Pancasila, bukan liberal maupun sosial. Setiap kebijakan akan selalu melahirkan kebaikan sekaligus keengganan.
Proses perpajakan adalah suatu kesepakatan patriotik bahwa kita bersama yang membangun bangsa. Penerimaan pajak berasal dari iuran sendiri dan berdiri di kaki sendiri. Itu yang kita cita-citakan.
Oleh: (Muhammad Rakha Ishlah Adimad), pegawai Direktorat Jenderal Pajak
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.