Pajak dan Pendidikan, Dua Wajah dari Perjuangan yang Sama

Oleh: (Gede Suarnaya), pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XXII/2024 membuka peluang besar bagi terwujudnya pendidikan gratis di Indonesia. Hal ini bukan sekadar kabar baik, melainkan juga momentum penting untuk menegaskan kembali bahwa keberlangsungan layanan publik termasuk pendidikan sangat bergantung pada kekuatan penerimaan pajak negara.
Pendidikan gratis tidak mungkin terwujud dari ruang hampa. Realisasinya memerlukan pembiayaan yang besar dan berkelanjutan. Di sinilah pentingnya kesadaran pajak yang mengambil peranan sentral. Tanpa partisipasi aktif masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan, cita-cita menghadirkan pendidikan gratis hanya akan menjadi wacana kosong. Oleh karena itu, perjuangan untuk mewujudkan pendidikan gratis harus diiringi dengan upaya serius dalam menumbuhkan budaya sadar pajak di tengah masyarakat.
Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa pajak dipungut untuk keperluan negara. Dalam praktiknya, pajak merupakan sumber utama pembiayaan negara. Amanah besar ini dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yang setiap tahunnya bertanggung jawab untuk mencapai target penerimaan negara sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun demikian, tanggung jawab ini tidak sepenuhnya menjadi beban DJP semata, tetapi merupakan kewajiban kolektif seluruh warga negara.
Sayangnya, cara pandang terhadap pajak di masyarakat masih perlu dibenahi. Pajak belum dianggap sebagai bagian penting dari kesadaran kita dalam berbangsa dan bernegara. Banyak yang masih menganggap pajak sebagai beban untuk membiayai tugas pemerintah saja, bukan sebagai instrumen keadilan sosial dan wujud kontribusi terhadap bangsa.
Dalam laporannya, PRAKARSA (2025) mencatat bahwa Indonesia mengalami kesenjangan penerimaan pajak (tax revenue gap) sebesar USD43,2 miliar, atau sekitar 15% dari produk domestik bruto (PDB). Ini menandakan potensi besar yang belum tergarap. Salah satu penyebab utamanya adalah rendahnya kesadaran dan kepatuhan pajak, yang semakin diperburuk dengan keberadaan ekonomi bayangan (shadow economy) dan praktik penghindaran pajak.
Rasio pajak Indonesia stagnan dalam dua dekade terakhir. Meski alokasi anggaran pendidikan sudah mencapai 20% sejak 2009, dampaknya terhadap peningkatan kesadaran pajak belum signifikan. Artinya, pemanfaatan anggaran belum mampu membentuk pemahaman bahwa pendidikan dan layanan publik adalah hasil nyata dari partisipasi masyarakat melalui pajak.
Perkuat Moral Pajak
Pajak bukan semata tentang penghitungan atau pelaporan secara formalitas belaka. Pajak adalah cerminan moral kolektif kita sebagai bangsa. Sama seperti korupsi yang kini dipandang sebagai tindakan tidak bermoral dan melanggar hukum dan perintah agama, penghindaran pajak pun seharusnya dianggap tidak etis dan memalukan. Sayangnya, kesadaran ini belum sepenuhnya terbangun.
Penelitian terbaru oleh Hoy, Jolevski, dan Obeyesekere (2024), yang dikutip PRAKARSA (2025), mengungkap temuan yang mencemaskan. Lewat metode double-list experiment dengan data dari World Bank Enterprise Surveys (WBES), ditemukan bahwa sekitar 25–27% perusahaan formal di Indonesia terindikasi menghindari pajak. Praktik ini diperkirakan menimbulkan kerugian hingga 2% dari PDB. Angka tersebut sangat signifikan, terutama jika dibandingkan dengan rasio pajak terhadap PDB Indonesia yang masih berada di kisaran 10%.
Hal ini menunjukkan bahwa praktik penghindaran pajak masih sering terjadi. Penghindaran pajak pun kerap tidak dipandang sebagai perilaku yang tidak bermoral atau memalukan. Oleh karena itu, edukasi perpajakan perlu mendorong terjadinya perubahan paradigma ini. Darussalam (2020) menyatakan bahwa perencanaan pajak seharusnya tidak hanya dinilai dari kepatuhannya terhadap ketentuan hukum, tetapi juga perlu memperhatikan aspek moral dan etika.
Bahkan, sebuah perencanaan pajak yang secara hukum sah tetap dapat dianggap tidak bermoral apabila bertentangan dengan semangat dari hukum pajak itu sendiri. Dengan demikian, moralitas dan etika berperan sebagai batas penting dalam menilai bentuk kepatuhan pajak yang dapat diterima secara sosial.
Kolaborasi Penting
Penulis percaya bahwa upaya menumbuhkan kesadaran pajak tidak bisa dilakukan oleh DJP sendiri. Diperlukan keterlibatan aktif dari pemerintah daerah, organisasi sosial masyarakat (CSO), dan dunia pendidikan. Mereka yang paling dekat dengan masyarakat memiliki peran strategis dalam menjelaskan bahwa uang pajak benar-benar kembali dalam bentuk pelayanan publik.
Jika pesan ini disampaikan dengan baik, maka kepercayaan terhadap sistem perpajakan akan tumbuh. Oleh karena itu, kampanye atau program literasi pajak tidak seharusnya berjalan terpisah dan sektoral. Program ini perlu disatukan dan dijalankan bersama oleh semua kementerian, lembaga, dan juga pemerintah daerah. Pemerintah daerah punya peran penting dalam menumbuhkan kesadaran pajak. Pasalnya, merekalah yang paling dekat dengan masyarakat dan langsung terlihat dalam penggunaan uang hasil penerimaan pajak, misalnya lewat pembangunan sekolah, rumah sakit, jalan, dan layanan publik lainnya.
Kampanye pajak juga sebaiknya lebih diperkuat di daerah karena bagi masyarakat umum, tidak ada bedanya antara pajak pusat dan pajak daerah. Yang penting adalah apakah pajak yang dibayar benar-benar kembali ke daerah mereka dalam bentuk manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Maka dari itu, peran pemerintah daerah sangat penting dalam membangun kepercayaan dan kesadaran masyarakat terhadap pajak.
Hal ini tercermin dari pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedy Mulyadi, yang menggambarkan antusiasme warga Jawa Barat yang mengantre untuk membayar pajak kendaraan dengan senyum, bahagia, dan bahkan merekam momen tersebut dalam bentuk video.
Beliau juga menegaskan bahwa di balik itu, terdapat tanggung jawab besar dari pemerintah daerah untuk segera mengalokasikan anggaran, terutama untuk perbaikan infrastruktur jalan. Dana yang dihimpun dari pajak harus dipastikan kembali kepada rakyat dalam bentuk layanan publik yang nyata, seperti jalan yang rapi, bersih, aman, dan nyaman. Pernyataan pejabat daerah tersebut patut diapresiasi dan dapat dijadikan contoh bagi daerah lain, seluruh pejabat publik, serta para wakil rakyat dalam membangun budaya sadar pajak.
Selain itu, untuk mendukung hal tersebut, pendirian tax center di perguruan tinggi perlu diperluas hingga ke tingkat desa. Hal ini sejalan dengan pemanfaatan dana desa yang berasal dari pajak. Bahkan, jika tax center di-rebranding menjadi “Pusat Kesadaran Pajak”, maka tax center akan lebih membumi dan didengar oleh masyarakat awam.
Akhirnya, reformasi perpajakan tidak hanya tentang regulasi. Ini tentang membangun budaya kolektif yang adil dan transparan. Negara-negara dengan sistem pajak yang adil—seperti di Skandinavia—menunjukkan bahwa masyarakat tidak keberatan membayar pajak karena mereka percaya bahwa pajak kembali dalam bentuk pelayanan publik yang berkualitas.
Maka dari itu, untuk mewujudkan pendidikan gratis dan keadilan sosial yang hakiki, kita harus menegakkan kesadaran pajak sebagai bagian dari perjuangan bangsa. Ini bukan sekadar soal penerimaan negara, tapi soal karakter, etika, dan moral kita sebagai bangsa yang besar.
Seperti kata Gus Dur, demokrasi tidak datang begitu saja—ia harus diperjuangkan dengan pengorbanan. Begitu pula pendidikan gratis dan kesadaran pajak. Keduanya adalah wajah dari perjuangan kolektif kita untuk masa depan yang lebih adil dan sejahtera. Pajak Tumbuh, Indonesia Tangguh!
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 106 kali dilihat