Oleh: Oji Saeroji, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Gelombang demonstrasi penolakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di beberapa daerah yang berujung ricuh dimulai dari Pati, Jawa Tengah.  Di Pati ada isu kenaikan PBB hingga 250 persen, kemudian merembet ke sejumlah daerah lainnya, mulai dari Cirebon dengan isu kenaikan sampai 1000 persen, disusul Jombang 1200 persen, Semarang 400 persen, dan yang terakhir sempat ricuh di Bone dengan kenaikan hingga 300 persen.

Di banyak daerah lainnya juga bermunculan penolakan serupa yang intinya menolak kenaikan PBB di tahun ini. Walaupun isu kenaikan berkali lipat itu tidak sepenuhnya benar dan dijawab seragam bahwa kenaikan itu disebabkan adanya akumulasi bertahun-tahun belum dilakukannya penyesuaian, tetap saja penjelasan dan keterangan pemerintah daerah (Pemda) masih kurang dipercaya.

PBB sebagai salah satu jenis pajak daerah kabupaten atau kota merupakan implementasi Undang-undang (UU) No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang terakhir diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jenis PBB yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten/Kota biasa dikenal dengan sebutan PBB pedesaan dan perkotaan (P2), sedangkan sektor perkebunan, perhutanan, pertambangan, dan lainnya masih dikelola pemerintah pusat, dalam hal ini oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Lebih dari satu dekade PBB P2 dikelola pemerintah kabupaten/kota dan menjadi salah satu sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). PBB P2 menjadi pajak strategis signifikan yang berpengaruh terhadap berbagai aspek kegiatan, kehidupan, dan sebagai penguatan pelaksanaan otonomi daerah melalui otonomi fiskal yang lebih kuat. Menurut UU, sumber keuangan daerah sendiri terbagi menjadi tiga, yaitu PAD, Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. PAD bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Dana Perimbangan berasal dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Lain-lain pendapatan daerah yang sah mencakup hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan.

 

Ekspresi Ketidakpuasan Masyarakat

Pilihan menaikkan PBB P2 tentu saja menjadi pilihan sulit di tengah kebutuhan dana pembangunan dan tuntutan janji politik yang harus dipenuhi. Banyak kepala daerah terpilih meminggirkan opsi kenaikan pajak yang sensitif. Konsekuensinya, daerah yang dipimpinnya hanya mempunyai kemampuan dan kapasitas fiskal yang terbatas sehingga tidak dapat membiayai pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum yang lebih luas. Efeknya, kerap kali keinginan masyarakat tidak terpenuhi seutuhnya. Ini yang di kemudian hari bisa menimbulkan ketidakpuasan masyarakat.

Pemda mencari pendapatan dari PBB P2 dengan cara menaikkan harga nilai jual objek pajak (NJOP). Beberapa pemda mengeklaim, kenaikan tersebut adalah hal lumrah mengingat mereka tidak pernah menaikkan NJOP lebih dari satu dekade terakhir. Kenaikan PBB P2 ini dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan daerah yang masih relatif rendah padahal jenis pajak ini menjadi ujung tombak PAD. Membebani masyarakat dengan kenaikan ini di tengah program efisiensi pemerintah pada akhirnya mendapatkan penolakan di banyak daerah.

Pemda sebagai instrumen pemerintah terdepan bertanggung jawab untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama memberikan pelayanan di bidang kesehatan, pendidikan dasar, pelayanan kota, infrastruktur, dan keamanan yang tentu saja membutuhkan banyak dana. Pilihan utamanya tentu saja dari instrumen pajak daerah. Penyediaan sumber keuangan daerah dalam jumlah yang memadai perlu didukung untuk menyelesaikan berbagai masalah ekonomi dan pembangunan suatu daerah.

 

Optimalisasi Penerimaan PBB P2

Munculnya perbedaan kebijakan pengelolaan PBB P2 antardaerah sejatinya dapat mendistorsi ekonomi. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah optimalisasi penggalian potensi pajak yang dapat menjadi solusi atas berbagai masalah.

Pertama, menaikkan tarif PBB P2 atas persetujuan DPRD kabupaten/kota dalam instrumen perubahan peraturan daerah (Perda). Kenaikan tarif ini bisa saja dilakukan dengan mekanisme progresif. Atas objek dengan NJOP kecil dibebankan tarif minimal dan NJOP besar dapat dibebankan tarif maksimal. Langkah ini paling cepat dalam menaikkan potensi pajak dan secara politik akan lebih mudah dilaksanakan sepanjang mendapatkan persetujuan para wakil rakyat. Mereka adalah elemen yang dapat diyakinkan terkait urgensi mendesak atas penambahan PAD bagi percepatan pembangunan daerah.

Kedua, perbaikan dan pemutakhiran basis data PBB P2. Langkah paling moderat dan tepat ini sejatinya dilakukan secara reguler dengan melibatkan pemerintah desa/kelurahan dengan melakukan canvasing objek pajak untuk mendapatkan data valid. Validitas data akan berkorelasi langsung terhadap kenaikan potensi pajak yang ditargetkan. Pemutakhiran data bertujuan untuk menyinkronkan antara data yang ada dan kenyataan di lapangan. Ruang lingkup pemutakhiran data berfokus pada perubahan nama, alamat subjek pajak, alamat objek pajak, dan luasan objek pajak.

Melakukan pengecekan lapangan terhadap objek pajak dengan data yang benar akan membuat pajak yang dikeluarkan sesuai dengan aturan yang berlaku. Masyarakat pun menerima SPPT PBB sudah sesuai dengan kondisi terkini. Ini langkah meminimalisasi timbulnya tunggakan PBB.

Ketiga, penilaian individual sebagai penilaian terhadap objek pajak dengan kriteria tertentu. Penilaian ini diterapkan untuk objek pajak nonstandard, khusus, atau yang bernilai tinggi. Objek PBB Nonstandar adalah objek-objek pajak yang memenuhi salah satu dari kriteria-kriteria luas tanah lebih dari 10.000 m2, luas bangunan lebih dari 1.000 m2, dan jumlah lantai lebih dari empat lantai. Sedangkan yang dimaksud dengan objek PBB khusus adalah objek pajak yang memiliki konstruksi khusus atau keberadaannya memiliki arti yang khusus seperti: lapangan golf, pelabuhan laut, pelabuhan udara, jalan tol, pompa bensin, perkantoran, rumah sakit/klinik, gudang, apartemen/kondominium, pabrik dan lain-lain.

Keempat, pemutakhiran Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB). Daftar biaya ini adalah tabel untuk menilai bangunan berdasarkan metode biaya yang terdiri dari biaya komponen utama, biaya komponen material, dan biaya komponen fasilitas untuk setiap jenis penggunaan bangunan. Tentunya DBKB dibuat untuk memudahkan perhitungan nilai bangunan berdasarkan pendekatan biaya.

Kelima, memutakhirkan NJOP sebagai nilai yang valid.  NJOP ini sangat tergantung lokasi, zonasi atau peruntukan, kondisi lingkungan hingga aksesibilitas. Intinya, harga serta pajak tanah dan bangunan di dalam gang sempit akan berbeda dengan tanah dan bangunan yang berada pinggir jalan raya. Pemutakhiran NJOP sesuai harga pasar saat ini tentunya berefek kepada penyesuaian ketetapan PBB P2. Berdasarkan kondisi saat ini, penyesuaian NJOP menyumbang secara signifikan kepada tingginya tarif PBB pada sebagian besar pemda. Ini dimungkinkan karena sebagian besar pemda belum pernah melaksanakan pemutakhiran NJOP secara komprehensif yang meliputi seluruh desa/kelurahan di wilayahnya sejak peralihan pengelolaan PBB-P2 dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Beberapa langkah di atas pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan PBB P2 yang bisa digunakan untuk perbaikan infrastruktur dan pelayanan publik. Langkah tersebut dapat dilakukan secara bertahap dan gradual dalam beberapa tahun agar tidak menimbulkan gejolak bagi masyarakat.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.