Oleh : Anang Purnadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Akhir tahun 2018, Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap tiga orang yang diduga memanipulasi transaksi di situs jual beli online, Bukalapak. Modus yang digunakan ketiga orang tersebut dengan memanfaatkan voucher cashback untuk bertransaksi secara online. Ketiga pelaku ditangkap di tempat-tempat yang berbeda di daerah Kediri, Jawa Timur.

Mereka melakukan transaksi fiktif dengan memanfaatkan voucher cashback yang disediakan Bukalapak. Ketiganya bergantian sebagai pembeli dan penjual, dan barang yang dikirimkan tidak sesuai dengan jenis barang yang dipesan. Biasanya yang dikirim berupa surat, amplop kosong, kopi instan, atau setumpuk kertas. Hal ini untuk mengemat ongkos pengiriman.

Mereka mempunyai lebih dari satu akun untuk mendapatkan cashback sebanyak mungkin. Cashback dipergunakan untuk belanja, dan hasil transaksi masuk ke fitur Bukadompet pelapak untuk dicairkan. Total kerugian yang dilaporkan Bukalapak senilai Rp 70 juta dari penggunaan voucher cashback tersebut.

Berkaca dari kejadian tersebut, mungkin sebagian dari kita kaget dengan potensi uang yang bisa diperoleh dari fitur cashback di marketplace. Selain Bukalapak, ada Tokopedia dan OVO dengan OVO point, Shopee dengan Koin Shopee, Blibli dengan Blipay, LinkAja dengan Saldo Bonus, Go-Pay,  Dana dengan Saldo-nya, serta masih banyak marketplace lainnya.

Cashback bukan Diskon

Proses bisnis cashback di marketplace dimulai saat konsumen belanja di tempatnya. Jika konsumen berbelanja dan atau melakukan pembayaran dengan metode tertentu, setelah transaksi dinyatakan sukses, maka cashback akan masuk ke saldo/ poin akun. Nantinya saldo tersebut bisa dicairkan melalui rekening yang didaftarkan dan atau dapat dipergunakan untuk belanja barang maupun produk digital lainnya.

Dalam pembukuan maupun catatan transaksi, cashback dan diskon merupakan hal yang berbeda, meskipun keduanya mempunyai persamaan. Sama-sama melekat dengan transaksi. Konsumen harus melakukan transaksi dahulu sebelum mendapatkan diskon atau cashback.

Pemberian diskon akan memotong harga yang akan dibayarkan konsumen. Misal harga 1 juta rupiah, diskon 10 persen, maka konsumen cukup membayar 900 ribu rupiah. Sementara cashback akan diberikan dalam bentuk tambahan saldo untuk dapat ditarik atau dibelanjakan dikemudian hari.

Dari segi penghasilan, diskon akan mengurangi harga, sehingga pengeluaran atau belanja konsumen lebih sedikit. Sedangkan cashback memberikan konsumen tambahan uang (penghasilan) atau kemampuan untuk melakukan transaksi berikutnya. Singkat kata, diskon berdampak pada sisi 'hemat' sedangkan cashback berdampak pada sisi 'tambahan uang'.

Sesuai dengan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, bahwa yang dimaksud dengan penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan bentuk apapun.

Berkaca pada kejadian di Kediri dan uraian diatas, cashback bisa disimpulkan sebagai penghasilan. Semua unsur telah dipenuhi :

  • cashback menambah kemampuan ekonomis,
  • berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia,
  • dapat dipergunakan untuk pembelian barang (konsumsi),
  • dapat dicairkan ke dalam rekening (menambah kekayaan Wajib Pajak).

Lalu bagaimana perlakuan pemungutan pajak atas penghasilan cashback tersebut?

Pajak Penghasilan Cashback

Jika telah disepakati sebagai penghasilan, maka pertanyaan berikutnya bagaimana cara pemungutan pajaknya? Apakah harus dihitung sendiri oleh wajib pajak sebagaimana menghitung Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25, ataukah dipotong secara final oleh marketplace pemberi cashback tersebut.

Mekanisme pembayaran PPh atas cashback yang diserahkan kepada wajib pajak, dikategorikan sebagai penghasilan lain-lain maka akan menemui beberapa kendala. Seseorang bisa mempunyai akun dipelbagai aplikasi, akan mengalami kesulitan penghitungan nilai cashback yang sebenarnya. Terlebih jika dalam tahun berjalan sebagian cashback sudah dipergunakan atau dicairkan.

Kendala berikutnya terjadi saat seseorang dalam satu akun marketplace melakukan transaksi pembeli dan penjualan. Uang hasil penjualan, pembelian yang gagal dan cashback hasil pembelian dapat bercampur menjadi satu. Pemilik akun akan kesulitan memilah mana yang uang penjualan, uang retur pembelian dan uang cashback.

Pemotongan secara final oleh marketplace dirasa menjadi solusi yang paling mudah, tepat, dan akurat. Cashback dipotong terlebih dahulu, bersifat final sebelum dikirima ke rekening akun pengguna. Mereka mempunyai rincian sumber saldo rekening para pemilik akun. Nilai pajak yang dipotong juga akan akurat sesuai jumlah pemberian cashback.

Karena bersifat final, akan lebih memudahkan perlakuan. Bagi pengguna akun yang berpenghasilan dibawah PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), diatas PTKP, penghasilan kecil maupun besar tidak akan mempengaruhi penghitungan PPh pasal 25 dan PPh pasal 29 mereka pada akhir tahun. Bahkan jika mereka tidak mencantumkan penghasilan cashback dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan mereka, pajaknya tetap terbayar dengan tepat.

Regulasi yang jelas diperlukan untuk menjaring Pajak Penghasilan cashback ini. Marketplace perlu dikukuhkan sebagai pemotong PPh, dan pada akhir tahun diwajibkan memberikan bukti potong kepada setiap pemilik akun. Hal ini diperlukan sebagai lampiran dalam SPT Tahunan, sekaligus rekapitulasi seberapa besar seseorang mendapat penghasilan cashback tiap tahun.

Setelah membaca tulisan ini, silakan cek berapa saldo cashback Anda?

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.