Oleh: Amirul Mukminin, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Dinyatakan dalam Pasal 66 ayat 5 PP 50 Tahun 2018 tanggal 7 Desember 2018 bahwa “Ketentuan mengenai Tata Cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan”. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.05/2018 dinyatakan bahwa Kartu Kredit Pemerintah (KKP) merupakan alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan Satuan Kerja (Satker) untuk melakukan pembayaran atas transaksi belanja negara dalam penggunaan Uang Persediaan (UP).

Apa sih KKP ini? Kartu kredit ini merupakan Kartu Kredit Corporate (Corporate Card) yang diterbitkan oleh Bank Penerbit Kartu Kredit Pemerintah. Bank penerbit kartu ini merupakan bank yang sama dengan tempat rekening Bendahara Pengeluaran (BP) atau Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) dibuka dan kantor pusat bank tersebut telah melakukan kerja sama dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb). Di lingkungan perusahaan besar, penggunaan kartu kredit ini sebenarnya sudah lama.

Dikutip dari situs web DJPb, UP digunakan untuk keperluan membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satker dan membiayai pengeluaran yang tidak dapat dilakukan melalui mekanisme Pembayaran LS (langsung). UP merupakan uang muka kerja dari Kuasa BUN (Bendahara Umum Negara) kepada Bendahara Pengeluaran yang dapat dimintakan penggantiannya (revolving).

Menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 190/PMK.05/2012 jo. 178/PMK.05/2018, UP adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada BP untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satker atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme pembayaran langsung.

KKP adalah alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan Satker, untuk melakukan pembayaran atas transaksi belanja negara dalam penggunaan UP KKP yang diterbitkan oleh Bank Penerbit KKP. Bank Penerbit KKP merupakan bank yang sama dengan tempat rekening BP/BPP dibuka dan kantor pusat bank tersebut telah melakukan kerja sama dengan DJPb. Bentuk kerja sama dilakukan dalam suatu penandatanganan PKS (Perjanjian Kerja Sama) antara DJPb dan Kantor Pusat Bank Penerbit KKP.

UP dapat diberikan untuk: belanja barang, belanja modal, dan belanja lain-lain. Walaupun disebutkan dalam Pasal 25 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.05/2021 bahwa kartu kredit pemerintah digunakan untuk keperluan belanja barang operasional serta belanja modal pengeluaran, sama sekali tidak menyebutkan belanja jasa, tetapi di ayat (2) memberikan contoh jasa yang dapat dibiayai dengan menggunakan kartu kredit pemerintah, antara lain: belanja sewa, belanja pemeliharaan gedung dan bangunan, serta belanja pemeliharaan peralatan dan mesin.


Aspek Pajak atas Penggunaan KKP

Dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.03/2022, rekanan wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Kewajiban tersebut juga berlaku bagi rekanan yang memenuhi kriteria sebagai pengusaha kecil, yaitu pengusaha dengan peredaran usaha BKP/JKP tidak lebih dari Rp4,8 milyar.

Dalam Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.03/2022, pemungutan PPh Pasal 22 meliputi pemungutan PPh sehubungan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada rekanan pemerintah. Instansi Pemerintah tidak melakukan pemungutan PPh Pasal 22 atas pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan menggunakan kartu kredit pemerintah.

Dalam Pasal 16-18 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.03/2022, Instansi Pemerintah ditunjuk sebagai pemungut PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh PKP Rekanan Pemerintah kepada Instansi Pemerintah. Instansi Pemerintah wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang. PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut oleh Instansi Pemerintah, dalam hal pembayaran dengan KKP atas belanja Instansi Pemerintah.

Sehingga apabila Instansi pemerintah belanja barang dengan KKP, maka Instansi pemerintah tidak memungut PPN dan PPh Pasal 22, walaupun belanjanya di atas Rp2,2 juta. Namun, bukan berarti tidak ada pemungutan PPN. Apabila rekanan adalah PKP, sebagaimana diharuskan dalam Permenkeu 58/PMK.03/2022, maka pemungutan dilakukan oleh rekanan PKP tersebut melalui penerbitan faktur pajak dengan kode 010, bukan 020 karena instansi pemerintah tidak memungut PPN.

Di kasus belanja barang, jika belanja menggunakan KKP, instansi pemerintah tidak perlu lagi memikirkan PPN dan PPh Pasal 22. Urusan terutang PPN atau tidak, ada faktur atau tidak, sepenuhnya menjadi tanggung jawab rekanan. Untuk itu, pemerintah sebaiknya lebih mendorong penggunaan KKP sebagai solusi belanja barang, supaya instansi pemerintah tidak pusing memikirkan pajak. Apalagi dalam Pasal 25 Ayat (2a) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.05/2021, disebutkan bahwa penggunaan KKP dilakukan dengan nilai belanja paling banyak Rp200 juta untuk satu penerima pembayaran. Seorang rekan bendahara menyatakan bahwa penggunaan KKP sangat memudahkannya, tetapi kelemahannya adalah masih sedikit rekanan yang memiliki Electronic Data Capture (EDC) untuk menggesek KKP.

Sedangkan untuk belanja jasa, penggunaaan KKP tidak menjadi pengecualian untuk pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan PPh Pasal 23, sehingga kedua jenis PPh tersebut tetap harus dipotong sepanjang terutang.

 

Rekapitulasi

Dari sana bisa kita rekapitulasi bahwa KKP hanya untuk pembayaran atas transaksi belanja negara dalam penggunaan Uang Persediaan. KKP bisa dilakukan untuk belanja barang maupun jasa.

Apabila instansi pemerintah membeli barang dengan kartu kredit pemerintah, tidak ada PPN dan PPh Pasal 22 yang dipungut oleh instansi pemerintah, sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.03/2022. Namun, pemungutan PPN tetap dilakukan oleh PKP rekanan.

Sedangkan apabila instansi pemerintah belanja jasa dengan kartu kredit pemerintah, tidak ada PPN yang dipungut oleh instansi pemerintah. Pemungutan PPN dilakukan oleh PKP rekanan. Sedangkan kewajiban untuk memotong PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan PPh Pasal 23 tetap ada sepanjang terutang.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.