Oleh: Tobagus Manshor Makmun, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Awal November 2022, sebelum berangkat ke tempat penugasan yang baru, saya mengirim pesan singkat kepada beberapa orang yang saya tuakan. Saya meminta doa mereka. Selain mendoakan, seorang kepala kantor pajak juga berpesan kepada saya. "Aja gampang tergoda," katanya. Jangan mudah tergoda.

Saya tahu ke mana arah pembicaraannya. Semesta sedang bercanda karena saya promosi menjadi kepala seksi pengawasan strategis—sesuatu yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Dengan menyandang nama strategis, berarti saya akan menangani wajib pajak besar di kantor baru. Bersama dengan itu, bisa jadi ada potensi godaan. Namun, saya tak terlalu serius menanggapi. Kantor baru saya hanyalah sebuah kantor kecil. Lagi pula, saya pikir, integritas di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sudah menjadi makanan sehari-hari, di kantor pelayanan pajak mana pun.

Setahun berlalu, ternyata yang dikhawatirkan kepala kantor tadi memang masih ada. Sekali, dua kali, tiga kali, ada saja yang menawarkan tanda terima kasih. "Jangan segitu pajaknya, Pak. Kan, nanti saya masih harus ngasih Bapak," begitu kata seorang wajib pajak kepada saya suatu saat.

Saya meringis. Kok, masih ada yang begini? Saya katakan kepada wajib pajak tersebut, "Pak, saya di sini cuma ngumpulin duit buat negara. Saya gak ada kepentingan pribadi. Bentuk terima kasih bagi saya adalah, misalnya, setelah ini kita gak sengaja ketemu di warung kopi, Bapak masih mau menyapa saya. Itu sudah cukup."

Hal-hal seperti itu membuat saya beberapa kali mengumpulkan teman-teman di seksi. Saya mewanti-wanti: jangan pernah menerima gratifikasi dari wajib pajak. Ini bukan masalah berkah atau tidak berkah, juga bukan tentang dosa dan pahala, tetapi karena kami adalah wajah institusi. Sekali kami menerima, wajib pajak akan beranggapan bahwa semua orang di DJP sama saja. Saya tidak ingin mendapatkan nama buruk akibat sesuatu yang dilakukan orang lain. Saya pikir, orang lain pun sama.

Saya beruntung karena hampir semua tawaran itu tak pernah menyebut nominal. Paling tidak, sampai beberapa waktu yang lalu.

Ada seorang wajib pajak mengajukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. Nominalnya ratusan juta rupiah. Sebelum mengajukan, ia menelepon saya. "Tolong dibantu, Pak," ujarnya. Saya mengiyakan. Sebenarnya, itu jawaban basa-basi. Tidak ada bantuan atau hambatan yang bisa saya tawarkan karena semua permohonan di kantor pajak akan diproses sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Saya mengiyakan untuk sekadar memberi rasa tenang. Lagi pula, selama itu memang hak wajib pajak, apa yang harus dipersoalkan?

Kebetulan, wajib pajak tersebut juga sedang kami teliti kewajiban pajaknya. Ada potensi pajak yang masih harus dibayar sekitar separo dari kelebihan pajaknya itu. Kami bertemu di kantor, sambil berbincang santai tentang beberapa hal di luar pekerjaan. Satu hal yang saya percayai sejak dulu: setiap orang butuh didengarkan. Hal tersebut sudah beberapa kali menjadi salah satu kunci sukses negosiasi.

Beberapa temuan kami dibantah wajib pajak dengan bukti-bukti. Akhirnya, nilai pajak yang masih harus dibayar menjadi berkurang dari temuan awal --tentu saja dengan bukti dokumen yang membuat kami meyakini secara profesional dan secara ketentuan. Kesepakatan terjadi, lantas kami bersalaman sambil tertawa-tawa. Saya pikir, beginilah seharusnya negosiasi, ditutup dengan tawa, bukan sakit hati.

Saya memiliki sebuah kebiasaan, yaitu setiap wajib pajak yang datang ke kantor akan saya antarkan sampai ke tempat parkir. Itu juga yang saya lakukan ke wajib pajak tersebut, sambil mengobrol tentang hal-hal selain cuaca. Untuk yang satu itu, kami sudah sepakat: cuaca di kota kami sedang panas-panasnya.

Di tempat parkir, ia bertanya, "Jadinya, saya dapat restitusi berapa?"

"Sekian dikurangi sekian, masih sekitar sekian, Pak," jawab saya. Ia terdiam sejenak, lalu berbisik, "Untuk Bapak, sekian juta, ya." Angka yang fantastis!

Sesaat langsung melintas di otak saya, "Dapet, nih, gitar mahal." Namun, untungnya, akal sehat saya masih tersisa. Saya tersenyum, lalu bilang, "Jangan, Pak."

Apakah saya tidak ingin? Andai boleh jujur, saya juga ingin. Ini tawaran yang sangat empuk. Akan tetapi, kami adalah wajah institusi. Saya ingin menjaga marwah DJP, sekuat yang saya bisa.

Saya berpesan ke wajib pajak tersebut, "Tolong jangan tawari anak-anak saya juga, ya, Pak. Mereka masih muda, jalannya masih panjang. Saya gak pengen mereka terkontaminasi, lalu gak tau kapan harus berhenti."

Biyuh. Tanggal tua, wishlist di lapak daring sudah ada belasan tanpa tahu kapan bisa check out, kok ya ada godaan begini?

Saya tak ingin menghakimi. Entah pengalaman hidup seperti apa yang membuatnya berpikir untuk menawarkan sesuatu. Saya pun tak ingin menduga-duga. Saya bilang kepadanya bahwa beban usaha yang harus ia tanggung sudah banyak dan saya tak ingin menambahnya. Sebelum kembali ke ruangan, saya menjabat tangan si wajib pajak sambil berkata, "Tolong, ya, Pak. Saya ingin bekerja yang biasa-biasa saja."

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.