Harapan Sang Yatim untuk Pajak

Oleh: Afri Syahputra, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Cerita ini berawal ketika aku berkunjung ke salah satu panti asuhan di Pematang Siantar. Saat itu bersama beberapa teman sejawat hendak mengantarkan sumbangan berupa makanan dan alat-alat tulis serta kebutuhan sehari-hari. Panti Asuhan Yayasan Islamic Centre Siantar-Simalungun yang beralamat di jalan Sangnawaluh KM.3,5 Pematang Siantar adalah tempat yang kami kunjungi.
Di bawah bangunan persegi panjang bercat putih dan atap seng karatan ini mengingatkanku pada sesosok anak yatim berusia 10 tahun yang bernama Ahmad Bakri. Tujuh tahun lalu ia ditinggal ayah yang sangat dicintainya, ibunya menitipkannya ke panti saat ia masih berusia 2 tahun, lalu ibunya pergi entah kemana, bak hilang rimbanya, apakah ibunya masih hidup hingga sekarang atau tidak, tak tahu di mana keberadaannya.
Cerita ini langsung saya dengar dari salah satu pengasuh panti yang sudah 15 tahun bergelut bersama anak-anak tak berayah dan ibu ini. Tak dapat kubendung rasa iba dalam hatiku. Kucoba hampiri anak itu, ya benar ia lah Ahmad Bakri yang kini duduk di sebelahku saat penyerahan sumbangan kala itu, lalu ia bertanya,”Bapak kerja di pajak ya?"
Aku tersenyum lalu menjawab,"Iya Dik, saya bekerja di Kantor Pajak." Kemudian ia bertanya lagi,"Pajak itu untuk siapa ya Pak?" Aku sejenak terdiam lalu berpikir keras menemukan jawaban pertanyaannya kali ini. Lalu kucoba berikan jawaban dengan kalimat yang mungkin dapat ia cerna."Pajak itu untuk pembangunan negara kita, Dik!" jawabku segera. "Pembangunan jalan raya, biaya pendidikan sekolah, biaya rumah sakit, dan pemerintahan kita!" sambungku lagi.
Lalu ia bertanya lagi, "Apakah kami anak-anak yatim ini dapat uang pajak, Pak?" Atas pertanyaan kali ini, aku mencoba memberi jawaban yang sedikit diplomatis." Dik, uang pajak untuk kita semua, untuk saya dan kamu, namun harus melalui pemerintah dan negara, dengan cara apa mereka untuk memeratakan pembagian uang pajak itu, kamu bersekolah pasti dibiayai pemerintah, kamu berjalan menggunakan jalan umum yang dibuat dari uang pajak, kamu sakit dan berobat dengan biaya pemerintah dan itu dari uang pajak juga."
"Sekarang kamu sudah kelas berapa?" tanyaku mencoba mengalihkannya. "Kelas IV SD, Pak!" jawabnya cepat dengan wajah yang masih kelihatan bingung dengan jawabanku barusan. Kemudian aku sampaikan sedikit cerita tentang anak-anak yatim yang sukses kepadanya.
“Dik Bakri, kamu kenalkan Muhammad? Beliau adalah nabi kita, terlahir sudah menjadi yatim, ditinggal ibunya saat ia masih belia seperti kamu, dengan kearifannya dan keikhlasannya ia mampu menyebarkan Islam di seluruh jazirah Arab, berhasil memimpin negara dan umatnya. Lain halnya dari Indonesia ada juga kisah seorang anak yatim yang sukses jadi menteri, Bapak Rizal Ramli, di umurnya 6 tahun ia sudah menjadi yatim piatu, tak punya bapak dan ibu, bahkan setiap lebaran ia tak pernah punya baju baru, tapi berkat kepiawaian dan keuletannya ia mampu menjadi seorang menteri koordinator bidang kemaritiman di negara kita, dan ia pernah mengatakan akan membuktikan anak yatim piatu bisa jadi orang."
"Yang senasib di panti sepertimu juga ada, Wahyu namanya, anak yatim piatu yang sangat menginspirasi, hidup tanpa orang tua tak menjadi halangan baginya untuk terus kreatif dan inspiratif, ia tinggal di Panti Asuhan di Desa Tolotio, Gorontalo, di tengah keterbatasan sumber daya dan biaya, semaksimal mungkin ia berjuang sendiri memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat karya miniatur untuk dijual walaupun kualitasnya belum sebagus yang diharapkan, dan yang terpenting ia menularkan keahliannya kepada anak-anak di panti asuhan dimana ia tinggal."
"Di luar negara kita juga ada," lanjutku, "Kisah pengusaha sukses dunia yang juga anak yatim dan miskin bernama Leonardo Del Vecchio, seorang pengusaha kacamata ternama di Italia dan ia juga pernah hidup di panti sepertimu. Berbekal dari kemiskinan dan keterpurukannya ia bangkit berjuang menggapai impiannya dan nanti suatu saat kamu akan mengenal merek kacamata terkenal Luxottica yang tersohor itu, dan sekarang sudah merambah ke seluruh dunia."
"Dan atas cerita itu semua, kamu juga bisa menjadi salah satu dari mereka suatu saat nanti," ungkapku saat mengakhiri cerita.
Terlihat senyum sumringah di wajahnya ketika cerita-cerita itu kuutarakan, seakan-akan mulai terpancar di relung hatinya sebuah niat untuk bertahan dan berusaha. "Yang terpenting belajarlah sungguh-sungguh, Dik Bakri! saya yakin kamu bukan saja bisa menjadi seperti saya sekarang ini, dan suatu saat nanti kamu bisa menjadi pengusaha hebat yang akan menyumbangkan pajak untuk negeri ini!" cetusku sembari memberi semangat padanya.
"Jadi kira-kira apa harapanmu untuk pajak kita, Dik?" tanyaku santai. "Semoga pemerintah kita memperhatikan anak-anak yatim seperti kami ini, Pak, kami butuh sekolah dan uluran tangan dari Bapak-bapak yang baik hati ini," jawabnya lugas dan penuh pengharapan.
"Kenapa kamu menangis, Dik Bakri?" tanyaku seketika.
"Maaf Pak, saya rindu ayah dan ibu. Kalau saja saya bersama mereka saat ini tentu nasib saya tak begini," ucapnya lirih dan terbata-bata.
Seketika itu aku memeluknya erat, lalu ia menunjukkan sebuah sapu tangan berwarna putih lusuh yang di atasnya tertulis: Ya, Allah Aku berdoa semoga Ayah dan Ibu ku baik-baik saja di sana, peluk kami dalam dekapan-Mu dan semoga kami selalu diperhatikan orang-orang yang memiliki hati yang baik.
Mataku berkaca-kaca ketika aku membacanya, lalu aku meminta izin kepada Bakri untuk menggoreskan ujung penaku di sapu tangan yang lusuh itu, dan kutulis di atasnya ‘Pajak Kita Untuk Kita’ dan untuk adik Bakri. "Terima kasih, Pak," ucapnya sebelum kami beranjak meninggalkan panti, dan kulihat Bakri, sang anak yatim itu melambaikan tangan kepada kami sembari mempersembahkan senyum lebarnya.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.
- 242 kali dilihat