Beli Kripto Tidak Lagi Kena PPN

Oleh: (Pandu Widiyatmika), pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Siapa kira-kira saat ini yang belum pernah mendengar kata bitcoin? Dalam era digital ini, criptocurrency semakin populer sebagai bentuk investasi dan mata uang virtual. Tanggal 1 Agustus 2025 menandai babak penting dalam sejarah perpajakan aset keuangan digital Indonesia.
Pemerintah resmi memberlakukan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50 Tahun 2025 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto (PMK 50/2025). Ketentuan yang diatur dalam PMK 50/2025 selaras dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Sejak berlakunya UU P2SK, aset kripto tidak lagi dikategorikan sebagai komoditi, tetapi termasuk bagian dari aset keuangan digital.
Beli Kripto Tidak Lagi Kena PPN
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2024 tentang Peralihan Tugas Pengaturan dan Pengawasan Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto serta Derivatif Keuangan (PP 49/2024), diatur peralihan fungsi pengawasan aset kripto dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan itu, OJK resmi menjadi otoritas yang melakukan pengaturan dan pengawasan aset keuangan digital termasuk kripto per 10 Januari 2025.
Peralihan pengawasan dari Bappebti ke OJK menandakan perubahan klasifikasi aset kripto yang semula sebagai barang komoditi menjadi aset keuangan yang oleh OJK dipersamakan dengan surat berharga. Perubahan definisi aset kripto dari komoditi tidak berwujud yang berbentuk digital menjadi aset keuangan digital memenuhi karakteristik surat berharga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan OJK.
Hal ini mengakibatkan aset kripto menjadi kelompok barang yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai (PPN). Pasal 2 ayat (1) PMK 50/2025 dengan tegas menyatakan bahwa atas penyerahan aset kripto dipersamakan dengan surat berharga, sehingga tidak dikenai PPN. Hal tersebut sesuai dengan pengaturan bahwa uang, emas batangan untuk cadangan devisa, dan surat berharga merupakan jenis barang yang tidak dikenai PPN.
Ketentuan tersebut sesuai dengan Pasal 4A ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN/PPnBM) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Ini berarti aset kripto kini diperlakukan setara dengan surat berharga sehingga tidak termasuk sebagai barang kena pajak.
Istilah Baru di PMK-50/2025
Pemajakan atas kripto sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto yang kemudian dicabut dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 54 Tahun 2025.
Dalam PMK-50/2025, terdapat istilah-istilah baru yang tidak ada pada aturan sebelumnya, seperti penyelenggara bursa aset keuangan digital termasuk aset kripto (bursa). Bursa adalah badan usaha yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk memfasilitasi kegiatan terkait perdagangan aset keuangan digital, termasuk aset kripto dan/atau menyediakan laporan perdagangan aset keuangan digital.
Pengertian aset kripto dalam PMK-50/2025 juga berubah menjadi:
"Aset Kripto adalah representasi digital dari nilai yang dapat disimpan dan ditransfer menggunakan teknologi yang memungkinkan penggunaan buku besar terdistribusi seperti blockchain untuk memverifikasi transaksinya dan memastikan keamanan dan validitas informasi yang tersimpan, tidak dijamin oleh otoritas pusat seperti bank sentral tetapi diterbitkan oleh pihak swasta, dapat ditransaksikan, disimpan, dan dipindahkan atau dialihkan secara elektronik, dan dapat berupa koin digital, token, atau representasi aset lainnya yang mencakup aset kripto terdukung (backed crypto-asset) dan aset kripto tidak terdukung (unbacked crypto-asset)".
Pada PMK-50/2025 juga diatur perubahan ketentuan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 final menjadi PPh dengan tarif umum atas penghasilan yang diterima atau diperoleh penambang aset kripto yang baru akan efektif diterapkan pada Tahun Pajak 2026. Dalam hal ini, penambang aset kripto adalah orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan verifikasi transaksi aset kripto untuk mendapatkan imbalan berupa aset kripto, baik sendiri-sendiri maupun dalam kelompok penambang aset kripto (mining pool).
Keberpihakan Pemerintah
Dalam aturan sebelumnya, tarif pemungutan PPh Pasal 22 final atas perdagangan kripto dibedakan atas transaksi di Bappebti dan non-Bappebti. Namun, dalam PMK-50/2025, tarif tersebut dibedakan atas transaksi perdagangan kripto yang dilakukan melalui penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) dalam negeri dan PPMSE luar negeri. Penjual akan dipungut tarif PPh Pasal 22 Final sebesar 0,21% apabila penjualan aset kripto dilakukan di PPMSE dalam negeri. Dan apabila dilakukan di PPMSE luar negeri, penjual akan dikenakan tarif 1%.
Dengan adanya ketentuan ini, kita dapat melihat bahwa pengenaan tarif PPh 22 Final atas transaksi yang dilakukan melalui PPMSE dalam negeri lebih rendah dibandingkan melalui PPMSE luar negeri. Ini berarti terdapat keberpihakan pemerintah kepada exchanger (bursa) yang berlokasi di Indonesia. Hal ini merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah dalam mendorong pertumbuhan industri kripto dalam negeri.
Pelaporan Harta Kripto
Jumlah akun pengguna aset kripto di Indonesia pada awal tahun 2025 diperkirakan mencapai 22,9 juta akun (OJK, 2024). Angka ini mengalami peningkatan signifikan sebesar 335,9% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Ini menunjukkan perkembangan positif dalam ekosistem aset kripto nasional, dengan nilai transaksi mencapai Rp650,61 triliun pada tahun 2024.
Seiring dengan dengan semakin banyaknya masyarakat Indonesia yang berinvestasi di kripto dan sudah mulai diberlakukannya Coretax DJP, wajib pajak perlu memperhatikan cara melaporkan aset kripto dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan di Coretax DJP. Kini, wajib pajak orang pribadi harus melaporkan harta lebih detail dalam tujuh tabel yang meliputi kas, setara kas, piutang, investasi/sekuritas, harta bergerak, harta tidak bergerak, harta lainnya, dan ikhtisar harta.
Ketentuan ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 tentang Ketentuan Pelaporan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Meterai dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan yang ditetapkan pada 22 Mei 2025.
Untuk melaporkan kepemilikan aset kripto yang masih dimiliki pada akhir tahun, wajib pajak perlu memasukkannya pada Lampiran 1 SPT Tahunan tabel nomor 3, yaitu investasi/sekuritas. Selain kripto, tabel tersebut juga digunakan untuk melaporkan aset investasi lainnya sepeti saham, obligasi, reksadana, instrumen derivatif, asuransi, unit link di asuransi, dan investasi lainnya.
Wajib pajak memilih kode “0399 Investasi Lainnya” untuk melaporkan kepemilikan cryptocurrency, trust fund, dan investasi lainnya. Pada tabel tersebut wajib pajak perlu menyampaikan informasi terperinci mengenai negara lokasi investasi, nama dan nomor pokok wajib pajak institusi investasi, nomor akun investasi, harga dan tahun perolehan, hingga nilai aset investasi saat ini.
Melaporkan harta di SPT Tahunan merupakan hal yang penting bagi wajb pajak. Melaporkan harta di SPT Tahunan tidak otomatis akan menambah jumlah pajak yang harus wajib pajak bayarkan, tetapi hanya untuk menilai kewajaran penghitungan pajak berdasarkan perbandingan jumlah penghasilan dengan kenaikan harta bersih di tahun tersebut. Jadi tidak perlu risau jika melengkapi tabel harta akan menambah jumlah pajak yang terutang. Yuk isi SPT Tahunan di Coretax DJP dengan benar, lengkap, dan jelas.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 96 kali dilihat