Oleh: Bambang Irawan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

“Tampar aku, Mas! Tampar! Tampar!”

Kutipan dialog di atas diambil dari salah satu adegan klimaks di film Noktah Merah Perkawinan. Tokoh Ambar yang diperankan Marsha Timothy mengonfrontasi suaminya, Gilang yang diperankan Oka Antara, di dapur rumahnya. Film yang menceritakan kehidupan pascanikah yang pelik antara pasangan Gilang dan Ambar ini digarap sutradara Sabrina Rochelle Kalangi yang sempat booming menjelang akhir tahun 2022.

Noktah Merah Perkawinan meraih banyak kesuksesan di belantika film nusantara lewat berbagai nominasi di Festival Film Indonesia 2022 karena kesolidan jalan cerita, konflik yang dekat dengan kehidupan keseharian, dan akting pemeran utamanya yang kuat.

Film ini berpusat di konflik rumah tangga antara Gilang dan Ambar yang terjadi setelah menikah selama sebelas tahun. Komunikasi yang buruk dari kedua belah pihak menyebabkan berbagai masalah yang terjadi gagal menemui titik temu dan solusi yang ditempuh bukannya menyelesaikan masalah, tetapi malah membuat keadaan semakin runyam.

Konflik yang digambarkan di film ini sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, terutama bagi yang sudah berkeluarga. Alur cerita yang mengalir dengan mulus dalam membangun emosi penonton hingga akting yang luar biasa dari semua pemeran utama membuat film ini banyak ditonton dan diperbicangkan khalayak.

Namun pernahkah kita membayangkan, dari berbagai masalah yang hadir dalam kehidupan kita, berapa banyak film produksi anak bangsa yang sehari-harinya kita nikmati membahas tentang permasalahan keuangan, perekonomian, atau paling muluknya, masalah pajak?

Rasa-rasanya masih jauh membayangkan bila produk budaya populer seperti Noktah Merah Perkawinan bercerita tentang konflik pascanikah, alih-alih menceritakan tentang Gilang yang tidak pernah melibatkan Ambar dalam masalah pribadinya, tetapi membahas tentang Gilang yang lupa melaporkan SPT Tahunan bertahun-tahun sehingga menyebabkan timbulnya denda dengan nominal besar.

 

Budaya Populer

Dewasa ini, semua perilaku kita sebagai masyarakat baik secara kelompok maupun individu mendapatkan banyak pengaruh dari apa pun yang kita nikmati dan tonton dari media, baik media cetak baca maupun audiovisual. Semua yang kita nikmati tersebut, baik itu film, musik, merek barang, merupakan contoh bentuk dari budaya populer.

Lewat budaya populer tersebut, ide-ide, gagasan, kepercayaan, gaya hidup, cara berpakaian, atau model barang, ditampilkan secara terus menerus, dibantu kemajuan teknologi, hingga sampai ke telinga dan mata masyarakat dan secara perlahan memengaruhi mereka untuk mengikuti apa yang didengar dari produk budaya tersebut.

Banyak hal positif yang kita bisa pelajari dari budaya populer.  Budaya populer membuat kita dengan mudah berkomunikasi dengan orang lain, dan mempermudah mengasosiasikan diri kita sesuai sosok di film, musik, yang kita suka. Misalkan satu dekade belakangan budaya populer dari Korea Selatan sedang gencarnya masuk ke negara kita. Kita bisa dengan mudah mengindentifikasi diri kita dengan siapa yang kita idolakan dari sana, dan juga mudah berkenalan dengan orang baru dengan preferensi sama.

Dengan budaya populer juga isu-isu penting terkait kemanusiaan, keadilan, bisa dengan mudah tersuarakan ke sudut paling ujung di dunia, salah satunya lewat artis dengan opini-opininya yang mudah diterima orang. Salah satu contohnya ketika isu Black Lives Matter (BLM) merebak di Amerika Serikat, banyak artis, atlet, maupun tokoh masyarakat yang gencar menyuarakan hal tersebut hingga BLM terdengar gaungnya ke penjuru dunia.

Selain isu yang disuarakan artis atau pemengaruh, program televisi juga sering dimanfaatkan pihak tertentu untuk mempermudah internalisasi nilai-nilai yang disebarkannya. Salah satu contohnya adalah program ‘86’ di kanal televisi Net TV yang bekerja sama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Program ini bertujuan memberikan pandangan baru ke masyarakat mengenai keseharian polisi. ‘86’ dibuat dengan menghibur dan informatif, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat awam sekalipun.

 

Inklusi Kesadaran Pajak

Sementara itu, apa saja yang sudah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) lakukan untuk menanamkan kesadaran pajak bagi masyarakat Indonesia? Pada saat ini selain edukasi pajak secara umum, DJP aktif mengampanyekan kesadaran pajak lewat institusi pendidikan atau disebut dengan program Inklusi Kesadaran Pajak.

Inklusi Kesadaran Pajak adalah metode edukasi pajak kepada masyarakat terkait kesadaran pajak yang terintegrasi dan terinternalisasi dalam suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak ketiga yang disebut Mitra Inklusi. Kemitraan ini sudah terbentuk sejak nota kesepahaman yang terbentuk antara DJP dan Kemendikbud tentang sinergi pelaksanaan tugas di bidang Pendidikan, Kebudayaan, dan Keuangan Negara.

Sejauh ini, dikutip dari situs web edukasi.pajak.go.id, sudah ada puluhan institusi pendidikan yang menjalin kerja sama dengan DJP untuk inklusi perpajakan di seluruh Indonesia. Selain itu sudah dibentuk juga tax center sebagai penghubung antara universitas/sekolah tinggi dan DJP untuk membantu edukasi perpajakan ke civitas academica.

Inklusi perpajakan di bidang pendidikan sangatlah penting untuk menanamkan kesadaran pajak sejak usia dini. Sedangkan institusi pendidikan diharapkan bisa menyentuh kalangan muda dan anak-anak usia produktif soal pajak. Namun, kesadaran kolektif membayar pajak membutuhkan kesadaran seluruh kalangan, tidak hanya anak-anak dan pelaku pendidikan, tetapi juga kalangan dewasa dan orang tua. Lalu bagaimana caranya?

Seperti dipaparkan di atas, salah satu cara paling efektif menanamkan kesadaran pajak bagi seluruh kalangan adalah dengan mengintergrasikannya lewat produk budaya populer. Di AS, banyak film yang menceritakan bagaimana kerja seorang agen otoritas pajak di sana atau dikenal dengan Internal Revenue Service (IRS). Atau contoh lain di komik populer Batman, musuh bebuyutan Batman yaitu Joker dikenal tidak pernah takut akan siapa pun kecuali dengan IRS karena IRS mampu dengan mudah menyelidiki sumber uang Joker dan menjeratnya dengan pasal penghindaran pajak.

Dengan integrasi nilai kesadaran pajak dengan produk budaya populer buatan anak negeri, kesadaran kolektif tentang pentingnya pajak perlahan akan terbangun. Ketika hal itu sudah terjadi, isu pajak bisa menjadi isu yang menyentuh semua kalangan masyarakat melalui obrolan kasual di warung kopi atau tongkrongan, bukan sebuah materi yang hanya dibicarakan di forum-forum terbatas yang dihadiri praktisi perpajakan dan fiskus.

Setelah pajak menjadi isu yang ‘seksi’ untuk dibicarakan, tahap selanjutnya pajak akan menyentuh level pimpinan di daerah atau pemerintah pusat. Tiap calon pimpinan atau perwakilan DPR/DPRD di daerah dan pusat berkampanye menjual janji-janji, mereka harus membahas tentang kebijakan pajak yang diambil sebagai sarana membiayai program mereka.

Pada hakikatnya, tiap gagasan atau program yang calon pimpinan umbar di kampanye untuk memikat masyarakat agar memilihnya, pajak tetap merupakan instrumen terpenting untuk membiayai semuanya. Ketergantungan terhadap pajak sebagai sumber pembiayaan akan menghasilkan kebijakan yang akuntabel dan juga semakin memperbaiki institusi perpajakan dan pemerintahan secara keseluruhan sebagai perwujudan good governance, dengan tujuan akhirnya meningkatkan kepatuhan kooperatif dan tax ratio negeri ini (Darussalam, 2023).

Namun sebelum cita-cita itu tercapai, pajak terlebih dahulu harus menjadi isu yang sehari-hari dibicarakan semua kalangan, mau dari golongan akar rumput hingga kalangan elit. Pajak akan menjadi isu yang sama pentingnya seperti isu kemiskinan, pendidikan, perekonomian, atau sama menariknya seperti kehidupan pasca pernikahan seperti dibahas di film Noktah Merah Perkawinan. Dan itu semua dimulai dari menginternalisasi kesadaran membayar pajak melalui produk budaya populer.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.