Oleh: Dwi Azis Nugroho, pegawai Direktorat Jenderal Pajak 

Bagi masyarakat umum, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah jenis pajak yang sering didengar dalam kehidupan sehari-hari khususnya PBB atas rumah tempat tinggal, tempat usaha, areal persawahan atau sejenisnya.

Hal ini menarik bahwa selain PBB atas peruntukan tersebut, masih terdapat PBB untuk peruntukan lain yang sepenuhnya masih dikelola oleh Pemerintah Pusat. Ini tidak terlepas dari semangat desentralisasi fiskal untuk menguatkan peran Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di setiap tahunnya.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, bumi didefinisikan sebagai permukaaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.

Disahkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD) menggantikan Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 menjadi tonggak pelimpahan kewenangan sebagian hak pengelolaan PBB kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.

Latar belakang disahkannya UU Nomor 28 Tahun 2009 antara lain untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam mengatur pajak daerah dan retribusi daerah, meningkatkan akuntabilitas dalam penyediaan layanan dan pemerintahan, memperkuat otonomi daerah, serta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan dunia usaha.

Adapun PBB yang dilimpahkan hak pengelolaannya kepada Pemerintah Kabupaten/Kota adalah PBB sektor perdesaan dan perkotaan (PBB-P2), sedangkan PBB untuk peruntukkan lainnya, masih dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam realitasnya di masyarakat, masih sering ditemukan pemahaman masyarakat bahwa pengelolaan PBB telah semuanya dilimpahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.

Pelimpahan ini tidak terlepas dari beberapa alasan pokok antara lain bahwa pertama, berdasarkan sifatnya, PBB-P2 lebih bersifat lokal, visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah, dan terdapat hubungan erat antara pembayar pajak dan yang menikmati hasil pajak tersebut.

Kedua, pengalihan PBB-P2 diharapkan dapat meningkatkan PAD dan sekaligus memperbaiki struktur APBD. Ketiga, untuk meningkatkan pelayanan masyarakat, akuntabilitas, dan transparansi dalam pengelolaan PBB-P2. Keempat, berdasarkan praktik di banyak negara, PBB-P2 atau pajak properti termasuk dalam jenis pajak lokal.

Berdasarkan Pasal 180 angka 5 UU Nomor 28 Tahun 2009, masa transisi pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah adalah sejak tanggal 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2013. Selama masa transisi tersebut, daerah yang telah siap dapat segera melakukan pemungutan PBB-P2 dengan terlebih dahulu menetapkan Peraturan daerah (Perda) tentang PBB-P2 sebagai dasar hukum pemungutan. Sebaliknya, apabila sampai dengan tanggal 31 Desember 2013 daerah belum juga menetapkan Perda tentang PBB-P2, maka daerah tersebut tidak diperkenankan untuk melakukan pemungutan PBB-P2, dan bagi seluruh masyarakat di daerah yang bersangkutan tidak dibebani kewajiban untuk membayar PBB-P2.

Selain PBB-P2 yang telah dilimpahkan kewenangannya kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, masih terdapat jenis PBB yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yaitu meliputi PBB Sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Pertambangan Panas Bumi, Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Sektor Lainnya meliputi perairan laut di wilayah perairan NKRI yang meliputi laut pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), atau perairan dalam Batas Landas Kontinen Indonesia. PBB yang dikelola oleh Pemerintah Pusat lebih dikenal dengan PBB-P5L.

Berbeda dengan PBB-P2 yang membagi objek pajak menjadi Bumi dan Bangunan, PBB-P5L membagi setiap sektor menjadi subsektor lebih spesifik. PBB Sektor Perkebunan terdiri atas subsektor permukaan bumi, PBB Sektor Perhutanan terdiri atas subsektor permukaan bumi, PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi terdiri atas subsektor permukaan bumi onshore dan offshore serta tubuh bumi eksplorasi dan eksploitasi.

PBB Sektor Pertambangan Panas Bumi terdiri atas subsektor permukaan bumi onshore dan offshore serta tubuh bumi eksplorasi dan eksploitasi, PBB Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara terdiri atas subsektor permukaan bumi onshore dan offshore serta tubuh bumi eksplorasi dan operasi produksi, dan Sektor Lainnya terdiri atas areal perairan untuk perikanan tangkap, areal perairan untuk budidaya ikan, areal perairan untuk jaringan pipa, kabel dan jalan tol.

Dalam pelaksanaan pemungutannya, baik PBB-P2 maupun PBB-P5L menggunakan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani. Pengisian SPOP merupakan bentuk sistem self assesment dalam pemungutan pajak.

Setelah SPOP disampaikan, maka selanjutnya dilakukan perhitungan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang menjadi dasar perhitungan PBB terutang. NJOP merupakan Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.

Kaitannya dalam Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, walaupun PBB-P5L dikelola oleh Pemerintah Pusat, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 menyatakan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan yang dikelola oleh Pemerintah Pusat selanjutnya ditransfer ke daerah dalam anggaran Transfer Ke Daerah (TKD) sebagai bagian Dana Bagi Hasil (DBH).

DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah dan daerah, serta kepada daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah.

Dengan menggunakan skema pembagian pengelolaan PBB antara pemerintah pusat dan daerah, diharapkan penerimaan PBB akan mampu meningkatkan kemandirian APBD setiap pemerintah daerah. Hal ini tidak terlepas dari tujuan desentralisasi fiskal yaitu tercapainya aspek kemandirian perekonomian di daerah sehingga setiap daerah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.