Oleh: Rachmat Fadloli Zakaria, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

            Tentu masih segar dalam ingatan kita bahwa sekitar tahun 2010 makelar kasus pajak di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyeruak ke publik. Kala itu pengungkapan mafia pajak yang diduga melibatkan beberapa oknum pegawai DJP menimbulkan reaksi keras dari masyarakat Indonesia. Reputasi DJP pun tercoreng.

Salah satu bentuk tanggapan kekecewaan dari publik ialah beramai-ramai mendukung petisi via Facebook yang memuat aksi penolakan membayar pajak (tax avoidance) hingga memutuskan menjadi free rider atau pihak yang turut menikmati manfaat publik, tetapi tidak membayar pajak.

Akibatnya, selain DJP menghadapi tantangan yang lebih sulit dalam menghimpun penerimaan negara, DJP juga harus memperbaiki stigma negatif yang sudah telanjur disematkan oleh masyarakat terhadap institusi ini.

            Berbicara tentang tax avoidance dan free rider, perilaku tersebut diilhami oleh salah satu teori pajak yaitu teori kepentingan (aequivalentie) yakni besarnya pajak yang dibayar memengaruhi tingkat kepentingan wajib pajak yang dilindungi. Jadi semakin besar kepentingan yang dilindungi maka semakin besar pula pajak yang harus dibayar (Soemitro, 1992:30). 

Hal ini memicu diskriminasi oleh pemerintah dalam memberikan pelayanan publik antara si kaya dan si miskin. Selain itu, teori ini dapat membuka kesempatan bagi wajib pajak prominen untuk menegosiasikan jumlah pajak yang dibayar agar lebih kecil daripada yang seharusnya. Atas dasar inilah maka masyarakat memutuskan untuk meluapkan kekecewaan dengan melakukan pembangkangan membayar pajak.         

            Untuk diketahui, pembangkangan sipil terhadap pajak mulai dikenal ketika Henry David Thoreau, seorang filsuf Amerika, pada tahun 1840-an menolak membayar pajak burung nuri sebagai simbol penolakannya terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh Pemerintah Federal Amerika Serikat terhadap Meksiko.

Penolakan itu kemudian berkembang semakin meluas karena kemudian juga dijadikan simbol perlawanan terhadap praktik perbudakan di negara selatan dan pelanggaran yang terus-menerus atas hak masyarakat Indian.

            Lalu, apakah pembangkangan ini akan menyelesaikan persoalan dan bijakkah kita untuk melakukannya?

 

Konsep Merugikan

            Jika kita terinspirasi oleh aksi yang dilakukan Thoreau, latar belakangnya sangat kontras dengan kondisi perekonomian dan sosial hari ini. Saat itu, Thoreau menentang perbudakan yang dilakukan Pemerintah Federal dan penghimpunan pajak untuk kepentingan perang serta tidak digunakan untuk kepentingan publik. Lagipula, pembangkangan yang ia lakukan tidak berdampak signifikan. Malah, terjadi eskalasi kecemburuan antarsesama rakyat Amerika Serikat, hingga perang sipil pada tahun 1861 berkecamuk. 

Tindakan ini juga tidak dapat menjamin keberhasilan dan memperbaiki keadaan sosial ekonomi masyarakat. Misal, ajakan yang pernah dilakukan revolusioner Iran, Ayatollah Khomeini untuk tidak membayar pajak dan listrik di Iran yang membuat negara tersebut kolaps. 

            Dalam konteks Indonesia, hal ini juga berkonsekuensi hukum. Setiap orang dengan sengaja menghindarkan diri dari kewajiban pemenuhan perpajakan dan tidak menjalankan kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun.

Pidana penjara itu ditambah denda paling sedikit dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak empat kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Sudah tidak berdampak signifikan, malah dikenakan hukuman. Sangat merugikan, bukan?

 

Teori Asuransi

            Jika boleh, teori pembangkangan sipil bisa dibenturkan dengan konsep teori lain yang bersifat optimis. Dalam teori asuransi, pajak diibaratkan sebagai suatu premi asuransi yang harus dibayar oleh setiap orang karena orang mendapatkan perlindungan atas hak-haknya dari pemerintah (Soemitro, 1992: 29).

Teori ini menyamakan pajak dengan premi asuransi. Pembayar pajak (wajib pajak) disamakan dengan pembayar premi asuransi, yakni pihak tertanggung. Adapun negara disamakan dengan pihak penanggung dalam perjanjian asuransi.

            Hal ini dipraktikkan dengan sangat baik oleh negara Finlandia. Negara ini mendistribusikan pajaknya sebagian besar untuk sektor publik, utamanya kesehatan, sosial, dan pendidikan.

Dari segi kesehatan, tarif pajak yang tinggi di sana dapat dirasakan manfaatnya dari pelayanan kesehatan yang setara dan terjangkau. Dari segi pendidikan juga dapat dilihat dari berbagai tunjangan yang disediakan pemerintah Finlandia bagi masyarakatnya yang menganggur ataupun memiliki disabilitas.

Negara ini juga memiliki beragam lembaga budaya mulai dari opera, balet, hingga sistem perpustakaan yang dibuka untuk umum tanpa dikenakan biaya. Selain itu, tarif murah transportasi umum yang dibiayai oleh pajak adalah bukti nyata pemberian asuransi atau jaminan secara sempurna dari pemerintah kepada rakyatnya.

            Pancasila yang mengandung sila persatuan dan gotong royong juga melihat pemungutan pajak dapat dibenarkan karena uang pajak digunakan untuk diri sendiri, untuk kesejahteraan sendiri, untuk masyarakat sendiri. Dari kita, untuk kita. Dalam alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kita bahu-membahu untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan, kesehatan, pelayanan dan sarana publik, ketertiban dan keamanan, perlindungan sosial, dan penguatan ekonomi.

Bagaimana mungkin negara dapat hidup jika seluruh biaya di atas tidak dibiayai pajak yang merupakan tulang punggung penerimaan negara sebesar 80 persen dari seluruh pendapatan negara?

 

Perubahan Kolektif

            Jika alasan pembangkangan membayar pajak adalah karena ketidakpercayaan pada institusi perpajakan, maka DJP telah berkomitmen untuk terus-menerus mereformasi dirinya perpajakan sebagai bentuk penyempurnaan institusi..

Perubahan ini salah satunya mencakup aspek sumber daya manusia yang profesional, kompeten, kredibel, berintegritas, dan dapat menjalankan proses bisnis DJP dalam rangka menghimpun penerimaan negara sesuai dengan potensi yang ada.

            Di samping itu, perubahan proses bisnis DJP yang lebih sederhana diharapkan membuat pekerjaan menjadi efektif, efisien, akuntabel, dan berbasis teknologi informasi. Jadi, tidak ada negosiasi di bawah meja ataupun kompromi antara pegawai DJP sebagai fiskus dan wajib pajak. 

            Karena wajib pajak adalah mitra utama DJP, maka wajib pajak sebagai pembayar pajak harus mendapat kepastian hukum dan keadilan dalam merumuskan peraturan perpajakan. Hal ini juga telah diakomodasi dalam perubahan Undang Undang Perpajakan yang telah disempurnakan dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

            Meski demikian, wajib pajak di saat bersamaan juga harus membangun budaya kritis dan literasi keuangan secara mikroekonomi dan makroekonomi. Uang pajak yang telah kita bayarkan hendaknya diawasi penggunaannya agar tepat guna dan tepat sasaran. Lalu, wajib pajak dan DJP juga bersama-sama saling bersinergi agar meniadakan segala bentuk pelayanan yang bersifat koruptif.

Terakhir, jika ada penyelewengan dalam penggunaan uang pajak, kita dapat mengungkapkan aspirasi kita melalui saluran yang disediakan oleh pemerintah dengan bijak. Bukan dengan boikot membayar pajak.

*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.