Hakordia 2025: Menormalisasi Integritas, dari Teladan Mr. Clean ke “Lapor Pak Purbaya”
Oleh: (Andra Amirullah), pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Tanggal 9 Desember yang diperingati sebagai Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) menjadi alarm untuk melakukan refleksi dan aksi nyata dalam rangka memperkuat budaya antikorupsi. Tahun 2025 ini, tema resmi Hakordia adalah “Satukan Aksi, Basmi Korupsi!”—pesan yang menekankan pentingnya kolaborasi seluruh elemen bangsa untuk menciptakan birokrasi yang bersih, transparan, dan berintegritas.
Bagi segenap insan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), hendaknya Hakordia bukan sekadar seremoni, melainkan pengingat bahwa integritas adalah fondasi utama dalam setiap kebijakan dan pelayanan. Di tengah kompleksitas tugas perpajakan, menjaga kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas bukanlah pilihan, melainkan kewajiban.
Integritas Sebagai Nilai Utama
Integritas adalah nilai pertama dalam lima nilai Kementerian Keuangan. Perilaku berintegritas seperti menjadi pegawai yang jujur, taat prosedur, dan berani menyuarakan kebenaran selayaknya dianggap sebagai suatu kewajaran, bukan prestasi.
Integritas bukanlah raihan medali emas yang dikalungkan pada leher kita, melainkan standar minimum yang melekat pada setiap pegawai. Yang justru luar biasa adalah ketika masih ada aparatur pajak yang melanggar nilai-nilai tersebut di tengah sistem yang dirancang untuk menjunjung tinggi etika.
Ekosistem Transparan
Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat skor DJP sebesar 79,86 dengan predikat “terjaga”—predikat tertinggi. Ini menunjukkan sistem dan budaya integritas berjalan baik. Namun, angka bukan jaminan mutlak.
Kasus RAT dan AP menjadi pengingat bahwa pelanggaran etika bisa terjadi bahkan di tengah sistem yang mapan. Integritas bukanlah tujuan akhir, melainkan komitmen yang harus terus dirawat. Komitmen ini membutuhkan ekosistem yang mendukung, bukan hanya aturan di atas kertas.
DJP telah membangun berbagai kanal pengawasan dan pengaduan publik seperti Kring Pajak dan whistleblowing system (WISE). Semua ini menjadi fondasi pengendalian risiko dan pencegahan fraud.
Yang terkini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa meluncurkan “Lapor Pak Purbaya” pada pertengahan Oktober yang lalu—sebuah saluran pengaduan yang disediakan untuk menampung laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran, penyalahgunaan wewenang, atau perilaku tidak etis dalam layanan pajak dan bea cukai.
Saluran ini hadir sebagai penguat sekaligus pelengkap ekosistem yang ada, membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas dan transparan serta memperluat komitmen pucuk pimpinan organisasi untuk menindak tegas siapa pun yang terbukti melanggar.
Dalam kesempatan lain, Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menegaskan bahwa DJP tidak akan mentolerir kecurangan dalam bentuk apa pun, bahkan jika nilainya hanya seratus rupiah.
Dua komitmen ini berasal dari pucuk pimpinan DJP. Ini merupakan bentuk dukungan moral dan menjadi “asuransi etis” bagi pegawai DJP yang telah bekerja sesuai nilai-nilai Kementerian Keuangan. Posisi pegawai yang tengah berada di jalan yang lurus semakin teguh di tengah risiko ulah oknum yang masih berpikir untuk melanggar etika.
Teladan dari Mr. Clean
Sejarah DJP mencatat sosok Mar’ie Muhammad, yang dijuluki Mr. Clean, sebagai teladan nyata.
Dalam biografi Mr. Clean, diceritakan bagaimana Mar’ie berhasil konsisten mengelola integritas saat berhadapan dengan risiko fraud. Saat menjadi Direktur Jenderal Pajak, ada pihak yang mencoba memanfaatkan namanya untuk memperkecil jumlah surat ketetapan pajak.
Mar’ie menolak keras dan menegaskan bahwa namanya tidak boleh dipakai untuk mengurangi kewajiban pajak satu rupiah pun. Sikap ini tidak hanya menolak gratifikasi, tetapi juga menutup celah intervensi yang bisa merusak sistem.
Cerita lain datang ketika beliau menjabat sebagai Menteri Keuangan. Mar’ie pernah ditawari sejumlah uang oleh kolega untuk mendukung kegiatan sosial. Meski tujuannya tampak baik, ia menolak dengan tegas karena khawatir menimbulkan konflik kepentingan. Prinsipnya jelas, jabatan adalah amanah, bukan sarana untuk membangun jaringan kepentingan pribadi.
Menormalisasi Integritas
Sudah saatnya kita berhenti memuji yang jujur sebagai “orang suci.” Saatnya kita menormalisasi integritas—bukan sekadar jargon, melainkan langkah nyata untuk menjadikan kejujuran sebagai kebiasaan.
Dari teladan Mar’ie Muhammad hingga hadirnya “Lapor Pak Purbaya”, kita belajar bahwa integritas bukanlah prestasi, melainkan budaya yang harus terus dirawat.
Hakordia adalah momentum bagi setiap pegawai untuk menjadikan nilai ini sebagai standar minimum pada dirinya sehingga reformasi birokrasi tidak lagi berhenti di atas kertas, tetapi hidup dalam setiap keputusan, pelayanan, dan rupiah yang kita kelola.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 179 views