Moral Kepatuhan di Era Digital: PER-19/PJ/2025 dalam Kacamata Hukum Alam
Oleh: (Eko Priyono), pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Perpajakan tidak sekadar mekanisme administrasi negara atau rangkaian prosedur formal untuk menagih penerimaan. Pajak merupakan instrumen mewujudkan keadilan sosial. Negara bertahan karena rakyat berpartisipasi dalam gotong royong fiskal: mereka yang memperoleh manfaat dari fasilitas negara ikut membiayai keberlangsungan pelayanan publik. Namun, gotong royong itu menjadi timpang ketika sebagian pelaku usaha menikmati fasilitas negara dan stabilitas ekonomi, tetapi mengabaikan kewajiban perpajakan.
Di tengah kebutuhan menjaga kepatuhan dan keseimbangan fiskal tersebut, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2025 tentang Penonaktifan Akses Pembuatan Faktur Pajak terhadap Pengusaha Kena Pajak yang Tidak Melaksanakan Kewajiban sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Perpajakan (PER-19/PJ/2025). Ketentuan itu mengatur penonaktifan akses pembuatan faktur pajak terhadap pengusaha kena pajak (PKP) yang tidak menjalankan kewajiban perpajakannya.
Sekilas aturan ini tampak prosedural dan teknokratis. Banyak yang melihatnya semata sebagai fitur digital yang memblokir akses di sistem. Padahal, jika dibaca dari sudut pandang teori hukum, regulasi tersebut justru merupakan manifestasi dari nilai dasar: keadilan. Pada titik inilah teori hukum alam Aristoteles menjadi kacamata yang menarik untuk memahami bahwa modernisasi administrasi perpajakan tidak pernah netral dari dimensi moral.
Teori Hukum Alam Aristoteles
Aristoteles memperkenalkan gagasan hukum alam yang berpijak pada kodrat manusia sebagai makhluk berakal yang mengejar kebaikan. Menurutnya, hukum positif yang ditetapkan negara—apa pun bentuk dan medianya—ideal jika merupakan terjemahan dari prinsip moral yang adil.
Hukum tidak hanya sah bila dibuat oleh lembaga berwenang, tetapi juga adil karena menjaga keseimbangan hak dan kewajiban dalam masyarakat. Dengan prinsip itu, lahirnya PER-19/PJ/2025 dapat dibaca sebagai upaya negara dalam menjaga keseimbangan tersebut.
Faktur Pajak adalah instrumen resmi bagi PKP untuk memungut pajak pertambahan nilai dari konsumen. Ketika PKP menerima kepercayaan untuk menerbitkan faktur, memungut pajak, tetapi tidak menyampaikan surat pemberitahuan (SPT), tidak menyetor pajak, atau memiliki tunggakan besar, terjadi pelanggaran keadilan.
PKP menikmati hak, sementara kewajibannya diabaikan. Dalam kacamata Aristoteles, situasi ini adalah ketidakselarasan antara hak individu dan telos negara yang memungut pajak demi kebaikan bersama.
Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk mengembalikan keseimbangan. Penonaktifan akses faktur bukan semata sanksi administratif, melainkan instrumen moral. Ia mengingatkan bahwa hak memiliki prasyarat etis: siapa pun yang ingin tetap memanfaatkan fasilitas perpajakan harus menunjukkan tanggung jawab.
Hukum dalam pandangan Aristoteles memang tidak hanya menghukum, tetapi juga mendidik. Ia pernah menegaskan bahwa hukum membantu membentuk karakter warga negara. Aturan perpajakan idealnya tidak semata bertujuan menghukum pelanggar, tetapi menuntun dan mengoreksi perilaku agar kembali pada jalur kepatuhan.
Logika ini terlihat jelas dalam PER-19/PJ/2025. Negara tidak langsung menutup akses dan membiarkan PKP jatuh dalam kebuntuan. Sistem memberikan teguran, menyediakan hak klarifikasi, dan membuka ruang pemulihan akses. Wajib pajak dapat menunjukkan bukti penyampaian SPT, bukti pemotongan, pelunasan tunggakan, atau persetujuan angsuran.
Selama ada iktikad baik untuk memperbaiki diri, akses dapat dipulihkan. Pendekatan ini menunjukkan watak korektif, bukan represif. Sanksi bukan tujuan, tetapi jalan untuk mengembalikan keadilan. Dalam kerangka hukum alam, nilai itu selaras dengan gagasan bahwa hukum harus memulihkan keseimbangan moral, bukan sekadar memberikan penderitaan.
Moralitas Aristoteles dan Teknologi Digital
Hal lain yang menarik adalah pertemuan antara moralitas Aristoteles dan teknologi digital. Sebagian pihak mungkin bertanya: apa hubungan gagasan moral klasik dengan sistem elektronik seperti Sistem Inti Administrasi Perpajakan? Jawabannya sederhana: teknologi hanyalah sarana. Moral tetap fondasinya.
Digitalisasi penonaktifan faktur bukan sekadar automasi. Ia menciptakan penegakan yang objektif, merata, dan konsisten. Sistem meminimalkan intervensi dan memperkecil ruang rekayasa. Siapa pun yang tidak menyampaikan kewajiban dalam jangka waktu yang ditentukan, siapa pun yang memiliki tunggakan besar, atau tidak melaporkan pemotongan pajak akan menghadapi konsekuensi yang sama.
Prinsip hukum alam tentang keadilan yang berlaku umum justru menjadi lebih kuat dengan teknologi: tidak pandang besar kecilnya usaha, tidak pandang kedekatan atau relasi, sistem menegakkan aturan berdasarkan parameter yang jelas dan adil.
Selain menjaga moral pelanggar agar kembali patuh, regulasi ini juga melindungi mereka yang sudah taat. Kita sering melihat sanksi pajak dari sudut pandang pelanggar dan jarang melihatnya dari sudut pelaku usaha yang patuh. Padahal, keadilan juga berarti memberikan perlindungan bagi yang sudah melakukan kewajiban.
Jika PKP bermasalah tetap dapat menerbitkan faktur dan bersaing di pasar, maka pelanggaran moral berubah menjadi ketidakadilan ekonomi. Pelanggar dapat menawarkan harga lebih rendah karena beban pajaknya tidak disetorkan, sementara yang patuh menjalankan kewajiban penuh dan menanggung biaya.
Dalam situasi itu, pasar terganggu dan keadilan sosial menjadi kabur. PER-19/PJ/2025 mengembalikan keseimbangan tersebut. Ini sejalan dengan konsep keadilan distributif Aristoteles: keadilan tidak berarti semua orang diperlakukan sama, tetapi setiap orang memperoleh sesuai hak dan kewajibannya.
Keadilan: Kebaikan Bersama
Pada akhirnya, tujuan hukum adalah kebaikan bersama. Aristoteles pernah mempertanyakan apakah suatu tindakan dapat disebut adil apabila merugikan masyarakat luas meskipun pelakunya tidak merasakan akibat langsung. Pertanyaan itu relevan dalam konteks perpajakan.
Adakah kebaikan dalam tindakan memungut pajak dari konsumen tetapi tidak menyetorkannya? Adakah keadilan ketika sebagian pengusaha taat, tetapi sebagian lain mengabaikan kewajiban dan tetap menikmati fasilitas negara? Dengan kacamata hukum alam, jawaban yang paling jelas adalah tidak.
PER-19/PJ/2025 menunjukkan bahwa negara tidak sekadar membangun sistem elektronik, tetapi juga merawat moral keadilan sosial dalam ruang perpajakan. Regulasi ini tidak mematikan ruang usaha, tidak menutup ruang klarifikasi, dan tidak menghilangkan hak pembelaan.
Sebaliknya, negara memberi kesempatan perbaikan, menyediakan mekanisme pemulihan, dan tetap menjunjung asas proporsionalitas. Itulah wujud hukum yang tidak hanya memerintah, tetapi mendidik.
Di era digital, ketika segala sesuatu serba otomatis, nilai dasar hukum tetap diperlukan. Teknologi mempercepat proses, tetapi moral yang menentukan arahnya. Hukum alam Aristoteles mengingatkan bahwa esensi hukum adalah menjaga kebaikan bersama, bukan sekadar mengatur prosedur. Dengan demikian, penonaktifan akses faktur bukan hanya soal tombol pada sistem, melainkan bagian dari etika bernegara: hak harus berjalan berdampingan dengan kewajiban.
Jika perpajakan adalah gotong royong modern, maka kepatuhan adalah moral dasarnya. PER-19/PJ/2025 menegaskan bahwa negara menjaga gotong royong itu agar tidak timpang. Regulasi ini mengembalikan keseimbangan, melindungi yang patuh, mengoreksi yang lalai, dan memastikan keadilan berjalan melalui mekanisme yang objektif.
Hukum alam yang diperkenalkan Aristoteles ratusan tahun lalu ternyata tetap hidup dalam sistem perpajakan digital hari ini. Keadilan tetap menjadi inti, teknologi hanya menjadi alat. Negara, melalui regulasi ini, menjalankan tugasnya: memastikan kebaikan bersama tetap terjaga.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 78 views