Oleh: Muhammad Widodo Ma'ruf, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Di sebuah kota kecil, seorang pedagang ritel sudah puluhan tahun membuka toko kelontongnya. Setiap pagi ia menata barang dagangannya, membuka pintu toko, dan melayani pembeli hingga malam hari. Ia memenuhi kewajibannya dengan membayar pajak penghasilan (PPh) final usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebesar 0,5% dari omzet bulanannya. Pedagang seperti ini relatif mudah diawasi oleh otoritas pajak karena usahanya terlihat secara fisik dan omzetnya dapat dipantau dengan lebih jelas.

Namun, zaman berubah. Muncul pedagang-pedagang baru yang tak lagi membutuhkan toko fisik. Mereka bisa berjualan dari rumah, menerima pesanan 24 jam, dan menjangkau pembeli hingga lintas provinsi. Inilah wajah baru perdagangan digital yang tumbuh pesat melalui lokapasar atau marketplace. Berbeda dengan pedagang luring yang pengawasan pajaknya rutin, pedagang daring relatif lebih sulit dijangkau.

Apakah ini adil bagi para pedagang yang sudah bertahun-tahun setia membayar pajak?

Indonesia memiliki 64,2 juta UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian dengan kontribusi lebih dari 60% produk domestik bruto (PDB). Pada tahun 2023, menurut Kementerian Perdagangan, sebanyak 22 juta UMKM telah bergabung dalam ekonomi digital (34 persen dari total UMKM). Artinya, mayoritas UMKM masih berjualan konvensional dengan pengawasan pajak yang relatif ketat, sementara potensi penerimaan dari jutaan transaksi digital sering kali terlewatkan.

Kesenjangan inilah yang ingin dijawab pemerintah melalui beleid barunya untuk memberikan keadilan dan kesetaraan bisnis (level playing field). Beleid tersebut adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMK 37/2025).

Menyamakan Kedudukan: Online vs. Offline

PMK 37/2025 mengatur bahwa marketplace kini memiliki kewajiban memungut pajak dari penjual yang menggunakan platform mereka. Tarif yang dikenakan adalah 0,5% dari omzet, dipotong langsung dari setiap transaksi.

Seperti dijelaskan oleh Abdul Aziz

dalam artikelnya di laman Direktorat Jenderal Pajak, skema ini sejatinya bukanlah penambahan pajak baru, melainkan upaya penyederhanaan pemungutan. Marketplace diposisikan sebagai mitra pemerintah yang membantu memudahkan pelaku usaha, khususnya pedagang online, dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka.

Tujuan dari peraturan ini jelas, menciptakan keadilan dan kesetaraan. Selama ini pedagang offline di toko fisik sudah lama patuh membayar pajak, sementara banyak pedagang online belum sepenuhnya terjangkau. Dengan aturan baru ini, pemerintah ingin menegaskan bahwa semua pelaku usaha, baik di dunia nyata maupun digital, memiliki kewajiban yang sama.

Namun, dari sisi pedagang, wajar jika muncul pandangan yang beragam. Mereka yang baru mulai berjualan atau berjualan paruh waktu merasa khawatir karena tetap terkena potongan pajak, meskipun keuntungan yang diperoleh belum besar. Di sisi lain, ada pula yang menilai aturan ini membawa keadilan, karena semua pedagang kini berada di arena persaingan yang lebih setara.

Di sinilah posisi pajak tidak perlu dilihat sekadar sebagai beban, melainkan sebagai instrumen keadilan sosial. Melalui mekanisme ini, distribusi kekayaan bisa berlangsung lebih merata, dan pajak berfungsi sebagai bentuk gotong royong modern yang menguatkan perekonomian bersama.

Efektivitas Pemungutan di Marketplace

Salah satu masalah terbesar dalam perpajakan digital adalah sulitnya melacak omzet. Banyak transaksi terjadi secara tersebar. Bahkan, sebagian berlangsung melalui media sosial atau jalur pribadi. Hal ini memberikan tantangan bagi otoritas pajak untuk memperoleh data yang akurat.

Marketplace hadir sebagai solusi. Dengan sistem transaksi yang terpusat dan digital, marketplace dapat memotong pajak secara otomatis, sehingga pelaporan menjadi lebih transparan dan akuntabel. Pedagang tidak lagi harus menghitung sendiri, karena pemungutan sudah dilakukan di sumber transaksi.

Bagi pemerintah, mekanisme ini adalah langkah maju dalam digitalisasi administrasi perpajakan. Bagi pedagang, sistem ini memberikan kemudahan karena kewajiban pajak mereka menjadi lebih sederhana. Tentu masih ada tantangan ke depannya. Namun, aturan ini sudah merupakan terobosan penting dalam pengawasan pajak sektor digital.

Tarif 0,5%: Adilkan untuk Semua?

Tarif PPh 0,5% dari omzet bukanlah hal baru karena sama dengan skema PPh Final UMKM yang sudah berlaku. Secara umum, tarif ini dianggap ringan, karena perhitungannya sederhana tanpa perlu laporan keuangan yang rumit.

Meski begitu, muncul pertanyaan soal keadilan. Tidak semua usaha punya margin yang sama. Pedagang elektronik bisa beromzet besar dengan keuntungan tipis, sementara pedagang makanan marginnya lebih tinggi. Artinya, beban 0,5% tidak selalu terasa proporsional bagi semua pelaku usaha.

Untuk mengatasi hal ini, PMK 37/2025 memberi fleksibilitas. Wajib pajak dengan omzet di bawah Rp500 juta tidak dipungut PPh sama sekali. Untuk omzet Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar, pajak 0,5% bisa bersifat final sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, atau tidak final sehingga bisa dikreditkan dalam perhitungan PPh tahunan. Sementara itu, bagi usaha dengan omzet di atas Rp4,8 miliar, pajak 0,5% selalu bersifat tidak final dan dapat dikreditkan. Dengan skema ini, aturan pajak marketplace tetap sederhana, tetapi juga memberi ruang bagi pelaku usaha untuk menyesuaikan dengan kondisi usahanya.

Meskipun skema ini adalah langkah maju, terdengar harapan para pelaku usaha UMKM agar pemerintah dapat memberikan fasilitas tambahan bagi mereka. Terkait batasan omzet di bawah Rp500 juta yang tidak dipungut PPh, usulan untuk memperpanjang pemberlakuannya menjadi sangat relevan. Hal ini akan memberikan waktu bagi UMKM untuk belajar dan mempersiapkan diri dengan baik untuk memenuhi kewajiban perpajakannya dengan ketentuan umum.

Mendukung Asta Cita Presiden Prabowo

Kebijakan pajak marketplace bukan sekadar untuk mengoptimalkan penerimaan negara, melainkan juga bagian penting dari perjalanan menuju Indonesia Emas 2045. Untuk mencapai cita-cita itu, Indonesia membutuhkan sumber pembiayaan yang stabil guna membangun pendidikan, layanan kesehatan, ketahanan pangan, infrastruktur modern, hingga program perlindungan sosial. Cita-cita itu sebagian besar dibiayai dari pajak yang faktanya sekarang berkontribusi lebih dari 70% penerimaan negara.

Lebih jauh lagi, kebijakan ini sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo yang menekankan kemandirian bangsa, penguatan reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta pemerataan ekonomi. Dengan memperluas basis perpajakan ke sektor digital, aturan ini memperkuat penerimaan negara sekaligus menciptakan keadilan antara pedagang online dan offline. Mekanisme pemungutan pajak melalui marketplace juga mencerminkan modernisasi birokrasi yang lebih efisien, transparan, dan inklusif.

Membayar pajak pada akhirnya bukan hanya kewajiban, melainkan partisipasi nyata dalam gotong royong membiayai masa depan bangsa. Baik pedagang di pasar tradisional maupun di marketplace, semua memiliki peran penting dalam mewujudkan Indonesia yang lebih adil, berdaulat, dan sejahtera.

PMK 37/2025 dengan demikian bukan hanya aturan teknis, melainkan juga salah satu fondasi nyata menuju Indonesia Emas 2045. Di mana keadilan perpajakan benar-benar hadir dalam praktik, bukan sekadar slogan.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.