Tanpa Pajak Baru, Bisakah Indonesia Capai Target?

Oleh: Stefany Patricia Tamba, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Kebijakan fiskal Indonesia memasuki babak baru dengan penegasan strategi yang sederhana namun lugas: tidak akan ada pungutan pajak baru maupun kenaikan tarif dalam waktu dekat. Visi ini berangkat dari keyakinan bahwa instrumen perpajakan yang ada sudah cukup kuat, asal dimaksimalkan melalui pengawasan, digitalisasi, dan efisiensi administrasi. Tantangannya bukan menambah beban masyarakat atau dunia usaha, melainkan memastikan sistem berjalan efektif, adil, dan transparan.
Data per 31 Agustus 2025 sebagaimana dikutip dari jumpa pers APBN Kita, menunjukkan realisasi penerimaan pajak sebesar Rp1.135,4,6 triliun, atau 54,7% dari target APBN 2025. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana menjaga keberlanjutan fiskal tanpa menambah pajak baru? Jawabannya terletak pada optimalisasi instrumen yang sudah ada.
Salah satu pilar kebijakan adalah mempercepat penerapan Core Tax Administration System (Coretax) yang mulai dioperasikan secara penuh pada 2025. Sistem ini mengintegrasikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), memperkuat validasi berbasis risiko, serta memungkinkan pemadanan data secara real time. Bagi wajib pajak, Coretax menghadirkan kemudahan pelaporan dan kepastian hukum. Bagi pemerintah, sistem ini memperluas basis pajak tanpa harus menambah tarif, karena kepatuhan meningkat secara otomatis melalui integrasi data lintas lembaga.
Optimasi juga diarahkan pada pengawasan belanja perpajakan atau tax expenditure. Insentif seperti tax holiday, super deduction, hingga pembebasan bea masuk memang mendorong investasi, tetapi efektivitas jangka panjangnya masih diperdebatkan. The Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) menekankan pentingnya evaluasi berbasis outcome, bukan sekadar input investasi. Di Indonesia, beban belanja perpajakan tercatat setara 1,3–1,5% produk domestik bruto (PDB) per tahun. Dengan nilai sebesar itu, setiap rupiah insentif harus mampu menunjukkan kontribusi nyata terhadap penyerapan tenaga kerja, hilirisasi industri, maupun ekspor. Transparansi dalam evaluasi inilah yang menjadi perhatian publik sekaligus ujian kredibilitas kebijakan fiskal.
Aspek lain yang menjadi fokus adalah kepastian hukum dan konsistensi regulasi. Perubahan aturan pajak yang terlalu sering dapat menimbulkan ketidakpastian, terutama bagi investor. Karena itu, strategi “tanpa pajak baru” berfungsi sebagai sinyal stabilitas. Dalam iklim global yang masih dipenuhi risiko geopolitik dan perlambatan perdagangan internasional, kepastian fiskal adalah modal penting untuk menjaga arus masuk investasi asing langsung (foreign direct investment atau FDI). Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi FDI per semester I 2025 tumbuh moderat 7,2%, terutama di sektor manufaktur dan energi terbarukan. Angka ini bisa terus ditingkatkan jika kepastian perpajakan tetap dijaga.
Teknis pemungutan pajak juga terus diperkuat. Regulasi terkini memperluas cakupan pengawasan transaksi digital, termasuk pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) atas layanan over-the-top (OTT) asing dan PPh Pasal 22 e-commerce domestik. Dengan konsumsi digital yang kini menyumbang lebih dari 5% PDB, instrumen ini berpotensi menjadi salah satu penopang penerimaan tanpa menambah tarif. Selain itu, penguatan aturan transfer pricing dan kerja sama internasional melalui automatic exchange of information (AEoI) memberi ruang signifikan untuk menekan praktik penghindaran pajak.
Potensi penerimaan juga terletak pada penutupan tax gap. Bank Dunia memperkirakan tax gap Indonesia masih di kisaran 6–8% PDB, atau setara Rp 1.700–2.200 triliun. Dengan basis data yang semakin terkoneksi, wajib pajak berkapasitas ekonomi tinggi tidak lagi mudah menghindari radar administrasi. Integrasi NIK-NPWP, akses informasi perbankan melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga pengawasan aset lintas yurisdiksi memberikan peluang besar menutup celah kepatuhan. Setiap tambahan penerimaan Rp 100 triliun diproyeksikan dapat meningkatkan pertumbuhan PDB sebesar 0,2–0,3% sekaligus memperluas ruang fiskal untuk belanja produktif.
Pada akhirnya, visi “tanpa pajak baru” bukanlah sikap pasif, melainkan strategi aktif yang menempatkan keadilan, kepastian, dan efektivitas sebagai poros kebijakan. Dengan memaksimalkan instrumen yang sudah ada, pemerintah berupaya menjaga keseimbangan: menutup kebutuhan fiskal tanpa menambah beban masyarakat. Bagi Direktorat Jenderal Pajak, ini adalah momentum untuk membuktikan bahwa reformasi administrasi bukan jargon, melainkan kunci menuju kemandirian fiskal. Jika strategi ini dijalankan konsisten, rasio pajak Indonesia berpeluang meningkat bertahap menuju 13% PDB pada 2028, sebuah capaian yang realistis sekaligus strategis bagi pembangunan berkelanjutan.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 45 views