PMK 50/2025 dan Kaizen Fiskal: Jalan Baru Pajak Kripto yang Berkeadilan

Oleh: Eko Priyono, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Tanggal 1 Agustus 2025 menandai babak penting dalam sejarah perpajakan digital Indonesia. Pemerintah resmi memberlakukan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50 Tahun 2025 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto (PMK 50/2025). Namun di balik narasi teknokratis itu, tersembunyi sebuah semangat yang lebih besar: kaizen, filosofi perubahan berkelanjutan asal Jepang yang mulai berdenyut dalam jantung kebijakan fiskal nasional.
PMK 50/2025 tidak lahir dalam ruang hampa. Ia merupakan respons progresif terhadap berbagai tantangan yang selama ini membayangi sektor aset kripto. Ketika transaksi penyerahan aset digital tumbuh eksponensial, sistem perpajakan yang lama menyisakan ruang besar untuk perbaikan.
Berbagai masukan muncul dari pelaku usaha, pengamat fiskal, hingga komunitas kripto. Di antaranya adalah perlakuan aset kripto sebagai barang kena pajak tidak berwujud, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) yang kompleks, serta perbedaan perlakuan antara pelaku domestik dan asing. Semua masukan tersebut ditengarai memicu eksodus transaksi ke platform luar negeri.
Di tengah situasi itu, PMK 50/2025 hadir tidak sekadar untuk “menambal” masalah, tetapi untuk mengubah cara pandang. Inilah langkah kaizen: perbaikan tidak dilakukan setengah hati, tetapi melalui rekonstruksi total sistem berbasis evaluasi empiris, kolaborasi lintas sektor, dan keberanian untuk merombak fondasi jika diperlukan.
Terobosan dalam PMK 50/2025
Ada tiga terobosan utama dalam PMK ini. Pertama, dihapusnya pengenaan PPN atas transaksi penyerahan aset kripto di platform resmi. Sebelumnya, transaksi penyerahan aset digital dikenai PPN karena diposisikan sebagai barang tidak berwujud, yang memicu ketidakseimbangan beban pajak dibandingkan produk keuangan lain.
Kini, PMK 50/2025 menghapus beban tersebut dan menyamakan posisi aset kripto dengan surat berharga atau produk keuangan yang bebas PPN. Artinya, mulai 1 Agustus 2025, transaksi kripto di dalam negeri yang dilakukan melalui penyelenggara resmi tidak lagi dikenai PPN. Ini menciptakan kejelasan, menghindari duplikasi pajak, dan memperkuat daya saing platform dalam negeri.
Langkah ini bukan hanya teknis, tetapi juga strategis. Ia mendorong pelaku kripto untuk bertransaksi secara legal, meningkatkan pendapatan pajak secara berkelanjutan, serta mencegah potensi penghindaran pajak yang selama ini terjadi akibat sistem yang membingungkan. Ini adalah bentuk nyata dari kaizen fiskal, yakni mengurangi friksi regulasi untuk meningkatkan kepatuhan secara sukarela.
Kedua, PMK 50/2025 menetapkan tarif PPh final atas transaksi kripto sebesar 0,21% dari nilai transaksi. Mekanisme ini menggantikan model sebelumnya yang rumit, termasuk pembedaan perlakuan antara pelaku domestik dan asing. Tarif tunggal yang sederhana ini menghadirkan keadilan dan efisiensi, memudahkan pelaporan dan penyetoran, sekaligus memperluas basis pajak tanpa memberatkan pelaku usaha atau investor ritel.
Model PPh final ini adalah bentuk akomodasi atas karakter khas transaksi penyerahan aset digital, yaitu volume tinggi, nilai bervariasi, dan pelaku tersebar. Dengan desain yang pasti dan ringan, PMK 50/2025 menjembatani kepentingan fiskal negara dengan kebutuhan pelaku usaha atas kepastian hukum dan kemudahan administrasi. Ini adalah ilustrasi lain dari pendekatan kaizen: memperbaiki sistem tanpa menghukum inovasi.
Ketiga, PMK ini memperkuat koordinasi tata kelola. Pemerintah tak lagi berjalan sendiri. PMK 50/2025 membuka ruang sinergi antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), serta pelaku industri untuk menciptakan ekosistem kripto yang legal, sehat, dan berorientasi jangka panjang. Sinkronisasi ini merupakan aspek krusial, mengingat aset kripto bukan sekadar objek fiskal, melainkan juga instrumen keuangan yang memerlukan pengawasan holistik.
Dalam praktiknya, sinergi ini juga tampak pada langkah integratif pemerintah yang menghubungkan ketentuan pajak kripto dengan regulasi lainnya. Di antaranya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2022 tentang Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan agenda reformasi digital administrasi perpajakan melalui sistem inti perpajakan (core tax system). Pemerintah sadar bahwa hanya dengan koordinasi lintas sistem dan semangat keterbukaan terhadap evaluasi, ekosistem kripto bisa berkembang dalam jalur yang legal dan berkelanjutan.
Reengineering Total
Lebih dari sekadar memperbaiki, PMK 50/2025 adalah contoh reengineering total atas regulasi berbasis masukan lapangan. Pemerintah tidak bersikap defensif terhadap kritik terhadap aturan sebelumnya, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Namun, pemerintah membuka ruang diskusi dan membangun solusi yang lebih fungsional. Semangat kaizen tak hanya berhenti pada produk hukum, tetapi juga dalam proses penyusunannya: partisipatif, transparan, dan siap diuji oleh kenyataan.
Sambutan Baik Pelaku Industri
Dampaknya sudah mulai terasa. Pelaku industri menyambut baik kehadiran aturan baru ini. Kejelasan tarif, kesederhanaan administrasi, dan dihapusnya PPN atas transaksi penyerahan aset kripto membuat pelaku usaha lebih percaya diri untuk beroperasi di dalam negeri. Transaksi kripto melalui platform resmi diperkirakan meningkat, sekaligus mencegah arus modal dan aktivitas ke luar negeri. Investor asing pun kini melihat Indonesia sebagai yurisdiksi yang lebih ramah terhadap inovasi digital, tetapi tetap menjaga integritas fiskalnya.
PMK 50/2025 juga membawa nilai simbolik: bahwa negara mampu belajar dan bergerak mengikuti zaman. Perubahan regulasi ini bukan respons atas tekanan, melainkan hasil dari pemahaman mendalam terhadap struktur baru ekonomi digital. Ia menyampaikan pesan bahwa negara hadir tidak hanya untuk menarik pajak, tetapi juga untuk memastikan regulasi bekerja bagi semua: pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat luas.
Tantangan ke Depan
Tantangannya tentu belum usai. Implementasi aturan ini membutuhkan pengawasan yang adaptif, infrastruktur pelaporan yang modern, dan literasi yang terus ditingkatkan. Dalam dunia aset digital yang sangat cepat berubah, pendekatan statis tak akan cukup. Karena itu, filosofi kaizen harus terus dijadikan dasar: tiap regulasi mesti dibuka ruang evaluasinya, tiap kebijakan perlu disiapkan untuk disempurnakan.
PMK 50/2025 memberi kita harapan bahwa regulasi bukan sekadar instrumen pemaksa, melainkan juga katalis inovasi dan keadilan. Ia menegaskan bahwa negara bisa hadir sebagai fasilitator pertumbuhan, bukan hanya pengatur. Ketika semangat kaizen diterapkan dalam tata kelola fiskal, maka regulasi menjadi reflektif, partisipatif, dan dinamis.
Sudah saatnya kaizen dijadikan sebagai asas tetap dalam setiap kebijakan—terutama di sektor digital yang terus berevolusi. PMK 50/2025 adalah contoh konkret bahwa perubahan bisa dilakukan dengan prinsip dan presisi. Keberanian merevisi, menyederhanakan, dan mendengar adalah bentuk kematangan birokrasi. Indonesia punya kapasitas untuk memimpin bukan hanya dalam kepatuhan fiskal, tetapi juga dalam inovasi tata kelola.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 289 views