Oleh: Stefany Patricia Tamba, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Pemerintah Indonesia tengah bersiap menandatangani nota kesepahaman (MoU) senilai US$34 miliar, setara dengan Rp490 triliun, dengan Amerika Serikat. Kesepakatan ini mencakup tiga sektor strategis: energi, pertanian, dan transportasi udara. Salah satu agenda utama adalah akuisisi 75 unit pesawat baru oleh Garuda Indonesia. Momentum ini tak hanya penting dari sisi diplomasi dagang, tetapi juga membuka peluang fiskal dan potensi penerimaan perpajakan.

Dalam konteks fiskal, investasi sebesar ini berpotensi menjadi sumber pertumbuhan penerimaan negara, baik secara langsung melalui pajak penghasilan badan (PPh Badan) dan pertambahan nilai (PPN), maupun secara tidak langsung melalui multiplier effect terhadap sektor terkait. Menurut data Kementerian Investasi/BKPM, setiap Rp1 triliun investasi dapat mendorong penciptaan hingga 1.500 lapangan kerja dan memberikan tambahan PPN dari konsumsi barang modal dan jasa sekitar Rp100–200 miliar. Dengan asumsi konservatif, jika separuh dari investasi ini terealisasi dalam 2–3 tahun, potensi penerimaan negara bisa mencapai puluhan triliun rupiah dari berbagai jenis pajak.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai instansi pelaksana kebijakan perpajakan telah menyiapkan berbagai strategi untuk mengoptimalkan potensi penerimaan ini. Mulai dari pemutakhiran data wajib pajak berbasis nomor induk kependudukan (NIK), integrasi sistem administrasi perpajakan, hingga pendekatan pengawasan berbasis risiko (compliance risk management) yang semakin adaptif terhadap model bisnis baru hasil kerja sama internasional. Upaya ini sejalan dengan arahan Kementerian Keuangan agar setiap rupiah potensi penerimaan negara dapat dimaksimalkan secara adil dan transparan.

Dalam sektor energi, kerja sama investasi dengan perusahaan Amerika dapat membuka jalan bagi pengembangan energi terbarukan, bidang yang telah mendapat alokasi insentif fiskal dari Kementerian Keuangan sejak 2020. Saat ini, sektor energi menyumbang sekitar 7% dari total penerimaan pajak, dengan potensi yang masih terbuka luas. Dengan pendalaman pasar dan transfer teknologi, sektor ini bisa berkontribusi lebih tinggi, baik dalam bentuk PPh, PPN, maupun Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor pertambangan.

Pada sektor pertanian, kolaborasi dengan mitra dagang AS berpotensi mendongkrak produktivitas dan daya saing ekspor. Per April 2025, ekspor produk agrikultur Indonesia ke AS tercatat mencapai US$2,4 miliar, naik 8,2% dibanding periode yang sama tahun lalu (BPS, 2025). Masuknya investasi baru dapat meningkatkan skala produksi dan kualitas produk, yang pada gilirannya akan memperluas basis pajak di wilayah-wilayah sentra pertanian. Apalagi, pemerintah melalui DJP juga tengah memperluas cakupan Nomor Induk Kependudukan sebagai NPWP, yang akan meningkatkan kepatuhan dan efisiensi sistem administrasi pajak sektor informal termasuk pertanian.

Sementara itu, akuisisi 75 pesawat oleh Garuda Indonesia bukan sekadar transaksi dagang, tetapi juga sinyal pemulihan sektor aviasi yang selama pandemi mengalami kontraksi hingga minus 30% pada 2020–2021. Dengan pertumbuhan trafik udara yang telah rebound hingga 12,7% pada kuartal I-2025 (Kemenhub), ekspansi ini dapat meningkatkan basis PPN, PPh karyawan, serta retribusi daerah dari operasional bandara. Sektor transportasi sendiri menyumbang sekitar 5,1% dari PDB Indonesia dan menyerap jutaan tenaga kerja langsung maupun tidak langsung. Dengan asumsi rata-rata pendapatan pesawat mencapai US$100 juta dalam siklus hidup operasionalnya, potensi pajak yang bisa dikumpulkan sepanjang periode 15–20 tahun ke depan akan sangat signifikan.

DJP berkomitmen untuk mengawal potensi perpajakan ini melalui pendekatan yang kolaboratif, akuntabel, dan berbasis data. Selama lima tahun terakhir, DJP terus berbenah melalui reformasi administrasi, pembaruan sistem teknologi informasi melalui Coretax DJP, dan pemutakhiran data wajib pajak yang semakin presisi. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia serius menciptakan ekosistem perpajakan yang sehat dan mendukung iklim investasi.

Lebih lanjut, dalam lima tahun terakhir, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam optimalisasi penerimaan pajak dari sektor investasi asing langsung (FDI). Rasio efektivitas pajak (tax-to-GDP ratio) stagnan di angka 10–11%, jauh di bawah standar optimal 15% yang direkomendasikan the Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Kesepakatan dagang seperti ini menjadi trigger untuk meningkatkan rasio tersebut, terutama jika diikuti dengan perbaikan data, integrasi sistem informasi, dan literasi perpajakan bagi pelaku usaha.

MoU Indonesia–AS senilai Rp490 triliun bukan sekadar headline ekonomi, melainkan peluang konkret untuk memperkuat struktur fiskal, memperluas basis pajak, dan membangun kemitraan dagang yang saling menguntungkan. Dengan dukungan penuh dari Direktorat Jenderal Pajak dan sinergi antarlembaga, potensi ini dapat dioptimalkan secara maksimal demi mendukung kemandirian fiskal dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.