Kurban dan Pajak: Dua Jalan Menuju Kesejahteraan Bersama

Oleh: Eko Priyono, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Menjelang Iduladha, umat Islam di seluruh penjuru dunia kembali disapa oleh momen yang penuh makna: ibadah kurban. Setiap tahun, ritual ini menjadi pengingat akan ketulusan Nabi Ibrahim dalam menjalankan perintah Ilahi, dan keikhlasan Nabi Ismail dalam menerima takdir dengan lapang dada. Namun, lebih dari sekadar ritual keagamaan, kurban juga menghadirkan nilai-nilai sosial yang sangat kuat: semangat berbagi, kepedulian terhadap sesama, dan pengorbanan demi kebaikan yang lebih besar.
Di sisi lain, kita hidup dalam sebuah sistem kenegaraan yang menuntut bentuk pengabdian serupa dari warganya: membayar pajak. Pajak, meskipun bukan bagian dari ritual agama, memegang peranan sentral dalam menjamin berjalannya roda pemerintahan dan pelayanan publik. Ia adalah fondasi keuangan negara yang menopang pembangunan, pendidikan, kesehatan, serta perlindungan sosial bagi seluruh rakyat.
Menariknya, meskipun baik kurban maupun pajak sama-sama bertumpu pada semangat memberi, persepsi masyarakat terhadap keduanya sangat berbeda. Kurban kerap disambut dengan antusiasme, bahkan kebanggaan. Suasana menjelang Iduladha dipenuhi kegembiraan; masjid-masjid ramai, pasar hewan bergairah, dan warga saling bergotong royong menyiapkan penyembelihan. Sementara itu, pajak sering kali dipandang sebagai kewajiban yang memberatkan. Tak jarang ia dikaitkan dengan beban administratif yang rumit, bahkan dengan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Baca juga:
Beli Hewan Kurban ada Pajaknya? Mari Kita Simak
Musim Haji Tiba, Bagaimana Aspek Perpajakannya?
Perbedaan sikap ini menandakan bahwa pajak belum sepenuhnya dipahami sebagai bagian dari kontribusi sosial. Padahal, jika kita renungkan lebih dalam, esensi kurban dan pajak tidak jauh berbeda. Keduanya mengandung unsur pengorbanan, keterlibatan aktif dalam kehidupan sosial, serta upaya mewujudkan kesejahteraan bersama. Maka, menyandingkan nilai-nilai kurban dalam praktik perpajakan bukanlah hal yang berlebihan, justru dapat menjadi pendekatan yang menyentuh dan membumi.
Kurban mengajarkan bahwa keberkahan harta tidak terletak pada jumlahnya, tetapi pada sejauh mana harta itu memberi manfaat bagi orang lain. Ketika seekor sapi atau kambing disembelih dan dagingnya dibagikan kepada yang membutuhkan, di situlah nilai sosial kurban bekerja. Ia menebarkan kebahagiaan, menguatkan solidaritas, dan menumbuhkan empati. Nilai-nilai seperti ini sangat relevan untuk menghidupkan kesadaran pajak.
Pajak pun sejatinya adalah bentuk "kurban sosial" di era modern. Ia tidak menyalurkan daging kepada tetangga, tetapi menghadirkan sekolah di pelosok, rumah sakit yang layak, jembatan yang menghubungkan desa ke kota, serta subsidi yang membantu rakyat kecil bertahan. Pajak adalah bentuk pengorbanan sebagian penghasilan yang kita serahkan demi kehidupan bersama yang lebih adil dan berkelanjutan. Jika semangat kurban menggerakkan hati untuk memberi dengan tulus, semestinya pajak pun dapat dimaknai sebagai amal sosial yang tak kalah mulia.
Kita membutuhkan cara pandang baru, bahwa membayar pajak bukanlah sekadar kewajiban hukum, melainkan bagian dari ibadah sosial yang luhur. Ketika seseorang membayar pajak dengan ikhlas, ia telah ikut menunaikan tanggung jawab sosial sebagai warga negara yang peduli terhadap masa depan bangsanya.
Sebaliknya, negara juga memikul amanah besar. Seperti halnya panitia kurban yang harus memastikan bahwa daging dibagikan kepada yang berhak, pemerintah pun harus memastikan bahwa dana pajak dikelola dengan jujur, transparan, dan penuh tanggung jawab. Ketika rakyat melihat bahwa pajak mereka digunakan untuk membangun fasilitas umum yang berkualitas, memperbaiki layanan pendidikan dan kesehatan, serta menjangkau warga miskin, maka kepercayaan akan tumbuh. Dari kepercayaan inilah lahir kepatuhan yang tulus, bukan karena takut, melainkan karena bangga telah ikut ambil bagian dalam membangun negeri.
Di tengah semangat gotong royong yang telah mengakar dalam budaya Indonesia, pajak seyogyanya dipahami sebagai bentuk kolektif dari prinsip tersebut. Seperti halnya kurban yang memperkuat jaringan sosial di lingkungan sekitar, pajak memperluas manfaat hingga ke penjuru negeri. Ia menjembatani harapan antar generasi—agar anak cucu kita kelak hidup di negeri yang lebih maju, adil, dan sejahtera.
Maka, menjelang Iduladha ini, marilah kita merenungkan kembali esensi pengorbanan. Bahwa dalam hidup ini, memberi kepada sesama adalah sumber kebahagiaan dan kekuatan kolektif. Kurban dan pajak, meski berbeda ruang dan bentuk, sama-sama merupakan ekspresi dari cinta: kepada sesama, kepada bangsa, dan kepada nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Keduanya mengajarkan bahwa kesejahteraan bukan dicapai dengan menumpuk harta, tetapi dengan menyalurkannya kepada yang membutuhkan. Bahwa kemajuan tidak dibangun oleh segelintir orang yang kuat, melainkan oleh solidaritas yang dijalin oleh jutaan warga yang mau berbagi. Mari kita jalani keduanya dengan semangat yang sama—semangat untuk memberi, membangun, dan menyejahterakan.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 29 views