Oleh: Eko Priyono, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Di tengah dinamika ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih dan terus dibayangi ketidakpastian, Pemerintah Indonesia kembali mengambil langkah strategis untuk menjaga stabilitas nasional. Salah satu jurus tersebut adalah dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10 Tahun 2025 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Dalam Rangka Stimulus Ekonomi Tahun Anggaran 2025 (PMK 10/2025). PMK ini yang mengatur mengenai fasilitas pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 atas penghasilan tertentu yang ditanggung pemerintah (DTP). Kebijakan fiskal ini berlaku sepanjang tahun anggaran 2025 dan menjadi bagian dari paket stimulus ekonomi yang bertujuan untuk memperkuat daya beli masyarakat, melindungi kesejahteraan para pekerja, serta menopang keberlangsungan industri strategis nasional.

Kehadiran PMK ini menegaskan kembali peran pemerintah sebagai pengelola kebijakan fiskal yang responsif terhadap tekanan eksternal. Dalam situasi di mana konsumsi domestik mengalami tekanan akibat lemahnya permintaan global, kebijakan semacam ini sangat penting untuk memastikan agar perekonomian tetap berjalan dan masyarakat tidak kehilangan daya belinya. PMK 10/2025 tidak hanya merupakan respons terhadap kondisi jangka pendek, tetapi juga cerminan dari upaya berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan sosial dan ekonomi secara luas.

Kebijakan ini secara khusus menyasar sektor-sektor industri padat karya yang memiliki peran penting dalam menyerap tenaga kerja, yakni industri alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, serta kulit dan barang dari kulit. Pemilihan sektor ini tentu bukan tanpa alasan. Di satu sisi, sektor-sektor ini menjadi tulang punggung dalam penciptaan lapangan kerja, khususnya bagi kelompok berpenghasilan menengah ke bawah. Di sisi lain, sektor ini juga sangat rentan terhadap gejolak eksternal, seperti pelemahan ekspor atau penurunan permintaan global, sehingga perlu mendapat dukungan ekstra dari pemerintah.

Sasaran dari kebijakan ini pun cukup terukur. PMK 10/2025 menyatakan bahwa fasilitas PPh 21 DTP hanya berlaku bagi pegawai tetap maupun tidak tetap yang memiliki penghasilan bruto maksimal Rp10 juta per bulan. Dengan kata lain, insentif ini benar-benar diarahkan kepada kelompok masyarakat yang paling terdampak oleh perlambatan ekonomi dan memiliki sensitivitas tinggi terhadap perubahan pendapatan. Melalui kebijakan ini, pemerintah berusaha menjaga agar konsumsi rumah tangga tetap terjamin —sebagai komponen penting dalam struktur produk domestik bruto (PDB).

Pelaporan dan Pengawasan

Namun, insentif fiskal ini tidak diberikan secara serampangan. PMK 10/2025 juga mengatur secara ketat aspek administratif dan pelaporannya. Salah satu syarat utama untuk mendapatkan fasilitas ini adalah kewajiban bagi pekerja untuk memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) atau nomor induk kependudukan (NIK) yang sudah terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Langkah ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal juga diiringi dengan dorongan reformasi administrasi perpajakan, yakni membangun basis data yang lebih akurat dan terintegrasi. Hal ini tentu sejalan dengan arah reformasi perpajakan nasional yang selama ini terus diupayakan.

Kekuatan utama dari kebijakan ini juga terletak pada mekanisme pelaksanaannya yang rinci. Pemerintah mewajibkan pemberi kerja untuk membayarkan insentif tersebut secara tunai kepada para pegawai yang memenuhi syarat. Selanjutnya, pemberi kerja juga wajib melaporkan pemanfaatan insentif itu setiap bulan melalui surat pemberitahuan (SPT) Masa PPh 21/26 hingga akhir tahun anggaran. Jika pelaporan tidak dilakukan dengan benar atau tidak dilakukan sama sekali, maka pemberi kerja akan kehilangan hak untuk menerima insentif ini dan tetap diwajibkan menyetorkan PPh sebagaimana mestinya.

Aspek pengawasan juga menjadi perhatian penting dalam kebijakan ini. DJP mendapat mandat untuk mengawasi pemanfaatan insentif ini agar tepat sasaran dan menghindari potensi penyimpangan. Ini penting untuk mencegah moral hazard yang mungkin timbul di tingkat pelaksana, terutama dari pihak pemberi kerja yang mungkin tergoda untuk menyalahgunakan insentif demi keuntungan sendiri. Dalam konteks ini, kehadiran sistem pengawasan yang tegas sekaligus transparan menjadi kunci keberhasilan implementasi kebijakan.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.