Transformasi Digital Administrasi Pajak: Antara Inovasi dan Tantangan Literasi

Oleh: Eko Priyono, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Digitalisasi telah mengubah wajah banyak aspek kehidupan, termasuk dalam pengelolaan administrasi perpajakan. Di Indonesia, langkah-langkah modernisasi terus digencarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) demi menciptakan sistem yang lebih efektif dan efisien. Salah satu wujud nyata dari upaya tersebut adalah implementasi sistem Coretax DJP —sebuah terobosan yang tidak hanya menghadirkan kemudahan dalam pelaporan pajak, tetapi juga mempererat integrasi antara sistem perpajakan dan kepabeanan.
Coretax DJP bukan sekadar platform pelaporan digital; ia menjadi tonggak penting dalam memperkuat transparansi dan efisiensi administrasi negara. Melalui sistem ini, berbagai dokumen bea cukai, seperti pemberitahuan impor barang (PIB), pemberitahuan ekspor barang (PEB), hingga dokumen khusus seperti surat penetapan pembayaran bea masuk, cukai, dan/atau pajak (SPPBMCP) dan surat penetapan tarif dan/atau nilai pabean (SPTNP), kini bisa diinput secara elektronik. Tak hanya mempercepat proses, langkah ini juga menekan redundansi administrasi.
Di tengah kemajuan ini, muncul pertanyaan besar: apakah seluruh wajib pajak siap mengoperasikannya? Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak pengguna yang mengalami kondisi teknis. Kesalahan sederhana seperti salah format nomor dokumen atau pemilihan jenis transaksi yang tidak tepat dapat berdampak serius, mulai dari laporan yang tertolak hingga potensi sanksi administratif. Situasi ini menegaskan pentingnya peningkatan literasi digital dalam bidang perpajakan.
Coretax DJP menyediakan dua metode input dokumen: otomatis (prepopulated) dan manual. Pilihan input manual sering kali memicu kebingungan karena setiap jenis dokumen memiliki format dan tata cara tersendiri. Sebagai contoh, dokumen PEB harus ditulis dengan format “Nomor PEB#Nomor Aju”, sementara PIB menggunakan format “Nomor Pendaftaran#NTPN”. Perbedaan teknis seperti ini bisa menyebabkan validasi gagal jika tidak diperhatikan secara saksama.
Kondisi semacam ini kerap terjadi bukan karena kelalaian, melainkan akibat kurangnya pemahaman teknis. Bahkan perusahaan besar pun tidak luput dari risiko ini. Karena itu, DJP dapat memperluas program sosialisasi dan menyediakan dukungan teknis yang mudah dijangkau.
Di sisi lain, sistem Coretax DJP dapat dimanfaatkan untuk menyederhanakan pelaporan pajak dan bea cukai yang selama ini berjalan secara paralel. Integrasi data membuat proses lebih efisien sekaligus memperkecil peluang kesalahan administratif. Manfaat ini baru dapat terwujud sepenuhnya bila pengguna memahami betul cara kerja sistem dan mengikuti prosedur dengan benar.
Dokumen-dokumen seperti SPPBMCP dan SPTNP, yang terkait langsung dengan pungutan atas barang impor, menuntut ketelitian dalam penginputan. Nomor dokumen, tanggal, serta nomor transaksi penerimaan negara (NTPN) harus diisi dengan akurat agar lolos validasi sistem. Hal serupa berlaku pada dokumen pajak dalam rangka impor (PDRI), yang muncul saat barang keluar dari kawasan berikat. Validitas pelaporan tergantung pada cara pembayaran —apakah melalui sistem billing DJP atau tidak— karena akan menentukan apakah pelaporan dilakukan otomatis atau manual.
Tantangan semakin kompleks dengan meningkatnya perdagangan digital lintas negara, terutama melalui platform perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Tidak jarang, penyedia jasa dari luar negeri belum memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) atau belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Sistem secara otomatis akan memberikan peringatan dalam kondisi seperti ini. Meski begitu, pelaporan tetap dapat dilakukan menggunakan NPWP dummy dan informasi penjual sesuai invoice. Hal ini membuktikan bahwa sistem dirancang dengan fleksibilitas untuk menghadapi dinamika global.
Dari kompleksitas ini, muncul pesan penting: administrasi perpajakan bukan sekadar urusan rutin, melainkan merupakan bagian dari praktik tata kelola negara yang transparan dan bertanggung jawab. Setiap data yang diinput mencerminkan kontribusi warga dalam mewujudkan akuntabilitas nasional.
Meski wajib pajak memegang peran penting dalam keberhasilan sistem ini, tanggung jawab tidak sepenuhnya dibebankan pada mereka. Pemerintah juga berperan aktif sebagai fasilitator, melalui edukasi perpajakan. Penggunaan media sosial, infografis, dan video singkat juga dapat menjadi strategi efektif untuk menjangkau lebih banyak pengguna.
Selain edukasi, layanan teknis juga dapat diperkuat. Bentuk dukungan ini membangun rasa percaya bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi tantangan digitalisasi perpajakan.
Kita tak bisa menghindari bahwa digitalisasi merupakan keniscayaan. Oleh sebab itu, mari kita tidak melihat perekaman dokumen dalam e-Faktur Coretax DJP sebagai beban administratif semata. Anggaplah ini sebagai bagian dari kontribusi nyata dalam mewujudkan sistem perpajakan yang adil, tertib, dan akuntabel. Karena pada akhirnya, tertib administrasi pajak bukan hanya tentang kepatuhan, tetapi juga tentang membangun relasi yang sehat dan saling percaya antara negara dan warganya.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 20 views