PP 23, Ambil atau Tidak? (Foto: Dokumentasi KPP Pratama Sintang)

Oleh: Devie Koerniawan, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Jika ada pajak penghasilan,
orang yang adil akan membayar lebih
dan orang yang tidak adil akan membayar kurang
pada jumlah penghasilan yang sama.
(Plato)

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 telah diluncurkan oleh pemerintah, tepat dua hari setelah cuti bersama lebaran selesai. Kelahirannya memungkasi Peraturan Pemerintah Nomor 46 yang hadir lima tahun sebelumnya. Isu besar yang dibawa PP 23 adalah pemangkasan tarif Pajak Penghasilan (PPh) untuk wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dari yang sebelumnya 1% turun menjadi 0,5% dari omzet. Isu menarik lainnya adalah peraturan ini menyediakan pintu alternatif bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang tidak ingin memanfaatkan fasilitas ini.

Dua hal ini seakan menjawab keluhan para pelaku Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro (UMKM) yang saya temui. Di satu sisi, penetapan tarif 1% flat memang memudahkan dalam menghitung kewajiban pajak. Tapi di sisi lain, tarif lama ini dinilai tak memperhatikan sisi kerja keras dan risiko pengusaha dalam meraih untung atau sekadar bertahan hidup. Institusi pajak seolah-olah tidak mau mendengar berapa pun biaya yang dikeluarkan, apakah pengusaha sedang merugi atau tidak, yang penting mereka tetap harus menyetorkan 1% dari peredaran usahanya kepada negara. Dan sayangnya, selama omzet masih belum beranjak dari 4,8 miliar rupiah, PP 46 tidak mengizinkan pengusaha untuk kembali menggunakan Pasal 17 UU PPh.

Pedagang eceran barang kebutuhan sehari-hari adalah salah satu wajib pajak yang banyak mengeluhkan ketentuan terdahulu. Dengan perputaran yang cepat, marjin tinggi memang bukanlah strategi yang mereka ambil untuk mereguk keuntungan. Keuntungan yang tipis tetapi tetapi berkesinambungan adalah kunci kelangsungan usaha mereka. Jika mereka menggunakan PP 46, maka keuntungan yang sudah tipis itu tentu saja akan semakin tergerus, karena dasar perhitungan PPh bukan berdasar keuntungan, melainkan harga barang yang mereka perdagangkan.

Dengan PP 23, usahawan golongan ini bisa sedikit bernafas lega. Mereka bisa memilih untuk kembali menggunakan Pasal 17 UU PPh, yang mengatur pengenaan pajak penghasilan berbasis penghasilan neto. Pengenaan pajak berdasarkan penghasilan neto dinilai lebih ideal untuk mengukur kemampuan membayar pajak, dibandingkan perhitungan berbasis penghasilan bruto. Dasar pengenaan PPh berdasar penghasilan neto paling sesuai dengan azas equality dalam pemungutan pajak, yang mensyaratkan bahwa pajak harus bersifat adil dan merata, dalam artian pengenaannya harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay).

Meskipun begitu, wajib pajak tidak dapat seenaknya berpindah lajur ketika ketentuan PP 23 dinilai lebih menguntungkan dibanding Pasal 17 UU PPh. Dalam pasal 3 ayat (2) ditegaskan bahwa wajib pajak yang telah memilih untuk dikenai PPh berdasarkan tarif Pasal 17 UU PPh UU PPh tidak lagi dapat memanfaatkan tarif 0,5%. Maka dari itu, pemilihan pemanfaatan tarif 0,5% ini harus dipikirkan dengan matang, dengan mempertimbangkan kemampuan finansial maupun kemampuan administrasi perpajakan.

Jika sekiranya pengusaha merasa sudah mampu menjalankan administrasi perpajakan dengan baik, dalam hal ini menyelenggarakan pembukuan sesuai ketentuan yang berlaku, maka memilih menggunakan Pasal 17 UU PPh adalah pilihan yang bijak. Tetapi jika belum mampu, maka pilihan memanfaatkan PP 23 adalah keputusan yang paling praktis. Tentu dengan konsekuensi PPh yang disetorkan bisa jadi lebih besar dari yang seharusnya dibayarkan ketika menggunakan tarif sesuai Pasal 17 UU PPh.

Perlu diingat, meskipun praktis ternyata pilihan penggunaan tarif 0,5% tak bisa dinikmati selamanya. Peraturan ini memberikan jangka waktu pemanfaatan tarif murah hanya selama tujuh tahun untuk wajib pajak orang pribadi, empat tahun untuk wajib pajak persekutuan komanditer (CV), firma dan koperasi, dan tiga tahun untuk wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas (PT). Setelah batas waktu yang ditentukan, wajib pajak diharuskan kembali ke metode penentuan PPh menggunakan tarif sesuai Pasal 17 UU PPh UU KUP. Singkatnya, selama menikmati kelonggaran tarif pengusaha tetap perlu mengupayakan untuk mempelajari bagaimana menjalankan administrasi perpajakan sesuai kelaziman dan implikasi kewajiban perpajakan terhadap jalannya roda usaha.

Khusus untuk pengusaha yang berstatus sebagai wajib pajak orang pribadi, aturan baru ini tak mewajibkan untuk melakukan pembukuan, jika masih ingin menggunakan opsi penentuan PPh menggunakan Pasal 17 UU KUP. Opsi pencatatan masih terbuka, dengan catatan dalam menentukan dasar penghasilan kena pajak menggunakan norma perhitungan penghasilan neto. Norma yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pajak ini berwujud tabel yang memuat persentase-persentase yang digunakan untuk menentukan seberapa besar dari keseluruhan penghasilan bruto yang bisa dianggap sebagai penghasilan neto dan akan dikenakan pajak penghasilan.

Dengan penggunaan norma ini, penghasilan kena pajak memang tak lagi dihitung berdasarkan penghasilan bruto. Tetapi tetap saja, penentuannya bersifat global per jenis usaha atau profesi, tidak memperhatikan keadaan per pengusaha secara lebih riil. Satu-satunya metode yang paling mendekati kemampuan bayar wajib pajak adalah dengan menyelenggarakan pembukuan. Dengan pembukuan, pengusaha bisa menyediakan informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilannya. Berdasar informasi ini, barulah akan ditentukan seberapa besar pajak penghasilan yang harus ditanggung wajib pajak.

PP 23 Tahun 2018 berlaku mulai 1 Juli 2018, artinya batas waktu setoran PPh, baik Final maupun Pasal 25, akan jatuh pada tanggal 15 Agustus 2018. Segera putuskan pilihan terbaik dalam pemenuhan kewajiban perpajakan anda agar anda tak perlu berurusan dengan sanksi administrasi sebagai akibat tidak atau terlambat menyetor dan melaporkan kewajiban pajak anda.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.