Nining Sunarsih, Selamat Tinggal Rekayasa Pajak (Anang Purnadi)

Oleh: Anang Purnadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Berita kembalinya Nining Sunarsih warga Sukabumi setelah 'hilang tenggelam’ pada 8 Januari 2017 dan diketahui telah pulang pada 1 Juli 2018 lalu membuat heboh banyak orang. Hilang selama 1,5 tahun dan tiba-tiba muncul, membuat banyak masyarakat yang percaya hilangnya Nining dihubung-hubungkan dengan kejadian mistis, bahwa Nining diculik Nyi Roro Kidul, penghuni Laut Selatan.

Singkat cerita berdasar hasil penyelidikan polisi, diungkapkan bahwa hilangnya Nining adalah rekayasa. Tujuan sandiwara ini untuk menghindari pembayaran utang bank sejumlah 35 juta, menggunakan surat kematian setelah Nining dinyatakan 'mati tenggelam'. Rencana itu berjalan mulus, dan utangnya dinyatakan 'lunas’. Dikarenakan menyedot publik secara luas, pihak polisi turun tangan mencari fakta atas kejadian ini. Sebelum melakukan penyelidikan, polisi terlebih dahulu mengutamakan sisi kemanusiaan dengan membawa Ningsih ke Rumah Sakit dan menanggung biaya perawatan.

Rekayasa Pajak

Sudah sifat yang alamiah jika manusia mau menikmati enaknya saja tanpa mau bersusah payah. Hal demikian yang terjadi dalam dunia perpajakan, banyak orang berusaha untuk menghindari, bayar sekecil mungkin, bahkan jika bisa tidak usah membayar pajak. Yang lebih parah lagi jika seseorang sudah menuntut fasilitas dari negara, segala bentuk pelayanan publik secepat mungkin tapi kontribusi pajak kecil bahkan tidak ada sama sekali.

Sama seperti Nining Sunarsih tadi, mau menikmati uang hasil pinjaman bank, tetapi tidak mau membayar angsurannya. Sampai akhirnya muncul ide merekayasa kematian untuk mendapatkan 'pelunasan’ otomatis dari bank. Seperti itu juga di dunia perpajakan, banyak cara untuk merekayasa laporan pajak dengan tujuan akhir mengecilkan bahkan menghilangkan pajak yang harus dibayarkan.

Bermacam cara digunakan, mulai dari pengecilan penjualan, menaikkan biaya, transaksi dengan perusahaan afiliasi sehingga harga bisa diatur, pegawai fiktif, bahkan sampai dengan membuat laporan keuangan yang berbeda untuk perpajakan.

Sistem self assessment yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri. Namun Direktorat Jenderal Pajak tidak sepatutnya percaya seratus persen kepada wajib pajak. Fungsi pengawasan dan penindakan harus tetap dijalankan sebaik mungkin. Seperti kejadian Nining Sunarsih, polisi bertindak demi mengungkapkan hal yang diindikasikan tidak benar.

Upaya-upaya rekayasa pajak banyak terjadi dan sudah dilakukan penindakan hukum. Namun keterbatasan sumber daya manusia di Direktorat Jenderal Pajak menjadi kendala. Untuk lebih meningkatkan penindakan dan mengurangi kecurangan pajak, dibutuhkan suatu solusi sesuai perkembangan jaman. Reformasi perpajakan berbasis informasi dan teknologi terus dijalankan.

Era pertukaran informasi perpajakan lintas negara melalui Automatic Exchange of Information dan tax treaty akan mengurangi upaya pengalihan dan penyembunyian harta ke negara tax heaven. Wajib pajak tidak bisa lagi menyembunyikan harta di luar negeri demi mengurangi tagihan pajak.

Kewajiban lembaga keuangan untuk melaporkan rekening nasabah dengan jumlah tertentu dan data penggunaan kartu  kredit yang dapat dibuka oleh Direktorat Jenderal Pajak sangat membantu fungsi pengawasan. Pertukaran data dan informasi antar lembaga keuangan membuat wajib pajak tidak lagi bisa menyembunyikan transaksi-transaksi keuangan. Seberapa besar penjualan, biaya yang dikeluarkan, dan bagaimana penggunaan penghasilan seseorang atau perusahaan akan terekam dengan lengkap. Mereka tidak akan lagi bisa membuat laporan pajak 'palsu'.

Fenomena bagaimana sebuah perusahaan besar tiba-tiba dinyatakan bangkrut, transaksi dengan harga dibawah harga wajar, dan orang kaya mendadak akan dapat dilakukan penyelidikan lebih lanjut. Melalui data keuangan dapat ditemukan apakah kejadian tersebut wajar atau direkayasa untuk tujuan tertentu. Misalnya untuk seseorang yang diketahui kaya mendadak, perlu ditelusuri dari mana asal kekayaan, bagaimana pajak atas penghasilan tersebut, dan hartanya sudah dilaporkan dalam amnesti pajak atau belum.

Reformasi perpajakan juga akan menyatukan kartu identitas untuk layanan publik. Dengan kartu yang terintegrasi maka dengan mudah diketahui berapa iuran BPJS, berapa kali bepergian ke luar negeri, bekerja dimana, bahkan bisa diketahui nominal dan seberapa sering belanja online.

Dengan informasi dan data yang akurat, rekayasa pajak akan dapat dikurangi secara signifikan. Dan masalah kekurangan sumber daya manusia Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan pengawasan dapat teratasi. Bisa dibayangkan dengan sekali entri NIK atau NPWP maka akan muncul seluruh penghasilan dan pengeluaran seseorang atau perusahaan. Tinggal mencocokkan dengan laporan yang diberikan oleh wajib pajak apakah sudah sesuai, lebih besar, atau lebih kecil dari yang seharusnya.

Mari sukseskan reformasi perpajakan, dan bye bye rekayasa pajak.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.