Oleh: Edmalia Rohmani, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Di dalam buku Pengantar Ilmu Hukum Pajak & Perpajakan Indonesia, Dr. A. Anshari Ritonga menjelaskan tentang Teori Moral Pajak dari Frey (1997) yaitu adanya motivasi-motivasi pembayar pajak yang memengaruhi pemungutan pajak, antara lain:

1. Persepsi adanya kejujuran, yaitu sejauh mana wajib pajak jujur dalam memenuhi kewajibannya, adanya keyakinan bahwa membayar pajak sejalan dengan nilai-nilai keagamaan, dsb;

2. Sikap membantu, memberikan pelayanan, dan kemudahan dari aparatur. Wajib pajak akan merespons positif atas bagaimana otoritas fiskus memperlakukan mereka;

3. Kepercayaan terhadap instansi pemerintah, apakah telah dilakukan sesuai ketentuan, taat azas, dan imparsial. Dalam konteks ini imparsial berarti menyeluruh, berkeadilan, tidak berat sebelah, dan tidak pilah-pilih penerapan hukum;

4. Penghargaan dan rasa hormat dari aparat pajak (fiskus) kepada pembayar pajak/calon pembayar pajak;

5. Sifat-sifat individu lainnya seperti petugas dan penegak hukum yang mandiri, taat azas, dan berintegritas tinggi; serta wajib pajak yang memahami peraturan perpajakan dan menganggap pajak sebagai kewajiban kenegaraan, bukan semata-mata sebagai beban.

Menariknya, teori ini seakan linier dengan hasil Survei Kepatuhan Pajak yang diselenggarakan PDAT (Pusat Data dan Analisis Tempo) bersama CITA (Center for Indonesia Taxaxtion Analysis) bertajuk “Menggali Persepsi Wajib Pajak terhadap Kewajiban Membayar Pajak, Praktik Perpajakan, dan Pelayanan Pajak 2018”.

Analisis Hasil Survei

Dikutip dari Siaran Pers PDAT, survei yang melibatkan sekitar dua ribu responden perwakilan wajib pajak badan ini dilaksanakan 6-30 Juni 2018 lalu. Responden yang terdiri dari para CEO BUMN, swasta, dan pemilik usaha dari 30 provinsi ini 68%-nya berasal dari sektor UMKM. Sebagian besarnya berjenis kelamin laki-laki dan berlatar belakang pendidikan S1 dan S2.

Dalam laporan hasil survei yang dipaparkan oleh Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif CITA pada acara Rembuk Pajak 6 Agustus 2018 lalu, terungkap bahwa lebih dari 90% responden berpendapat pajak adalah kewajiban yang penting ditunaikan. Transparansi alokasi dana pajak dan sistem politik yang demokratis menjadi faktor sosial yang berpengaruh. Sementara itu, pilihan politik yang berbeda tidak memengaruhi perusahaan dalam membayar pajak.

Sembilan puluh persen responden mengaku bahwa mereka sudah patuh dan merasa telah menghitung pajak dengan benar, melaporkan SPT dan membayar pajak tepat waktu, dan bersedia memberikan data apabila diminta. Menariknya, sebagian dari mereka ternyata pernah diperiksa DJP, pernah mengangsur atau menunda membayar pajak, dan pernah mendapat sanksi atau penalti. 

Hal ini mengindikasikan adanya jurang pemahaman antara kepatuhan formal menurut responden dan menurut otoritas pajak. Masih rendahnya tingkat literasi pajak juga ditengarai menjadi penyebabnya. Otoritas pajak perlu mengembangkan sebuah strategi khusus untuk menyebarluaskan pengetahuan perpajakan secara masif dengan mengoptimalkan peran-peran penyuluhan di semua lini unit vertikalnya.

Penyuluhan yang tepat sasaran dan diadakan secara persisten akan menjangkau sebagian besar wajib pajak. Kerja sama dengan pihak lain seperti konsultan pajak, notaris, dinas-dinas di bawah naungan pemerintah daerah, dan instansi lainnya juga perlu digalakkan dalam meningkatkan literasi pajak. Apalagi sekarang telah diluncurkan pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau OSS (Online Single Submission). Bertambahnya basis data wajb pajak baru dari pengguna OSS dan makin maraknya wajib pajak yang berupaya memenuhi kewajiban pajaknya adalah sebuah peluang sekaligus tantangan sejauh mana Ditjen Pajak mampu mengedukasi dan menjalin komunikasi positif dengan wajib pajak.

Perbedaan pandangan antara kepatuhan versi responden dengan fiskus menandakan masih tingginya faktor penegakan hukum yang memengaruhi kepatuhan wajib pajak. Hal ini bisa jadi disebabkan rasio jumlah wajib pajak diperiksa terhadap total wajib pajak terdaftar atau audit coverage ratio di negara kita masih rendah dan belum ideal. Telah terbit aturan di bidang pemeriksaaan terkait strategi peningkatan rasio ini di tahun 2017, juga aturan relaksasi restitusi yang mulai diberlakukan di tahun ini. Semuanya merupakan upaya Ditjen Pajak yang perlu didukung dan diberikan perhatian khusus.

Perlu Pemetaan

Sebenarnya, permasalahan ini akan dapat diuraikan apabila otoritas pajak mampu memetakan secara jelas empat tingkatan wajib pajak sesuai piramida yang disarankan OECD (Organisation for Economic Cooperation and Developement). Kelompok pertama adalah kelompok yang selalu mematuhi aturan pajak. Untuk kelompok ini maka perlakuan yang diberikan adalah dengan memberikan pelayanan prima. Kelompok kedua adalah mereka yang mempunyai keinginan untuk patuh namun karena kurangnya literasi perpajakan atau kesulitan teknis lainnya maka menjadi kurang patuh. Perlakuan yang seharusnya diberikan kepada mereka adalah bimbingan dan memberikan kemudahan dalam pemenuhan kewajibannya.

Dalam hal ini, Ditjen Pajak mendapatkan apresiasi positif sebab sebagian besar responden menilai bahwa petugas pajak telah bersikap responsif dan kooperatif dalam memberikan informasi yang diperlukan wajib pajak. Hanya saja, untuk lebih menyempurnakan pelayanan dan mengurangi biaya kepatuhan, Ditjen Pajak perlu memperbanyak inovasi di bidang edukasi yang mampu menjangkau berbagai wajib pajak, serta mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi dalam sistem pelaporan dan pembayaran pajak.

Wajib pajak yang masuk kelompok ketiga piramida OECD sebenarnya mempunyai kecenderungan untuk tidak patuh apabila lepas dari pengawasan fiskus. Maka, otoritas harus mampu mengoptimalkan sebuah sistem yang mampu mendeteksi kepatuhan wajib pajak melalui penerapan pemeriksaan berbasis manajemen kepatuhan berbasis risiko atau Compliance Risk Mangement (CRM). 

Hal ini telah sesuai dengan salah satu langkah strategis yang sedang bergulir dalam proses reformasi perpajakan, yaitu piloting CRM di 16 unit Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Setelah proses ini berhasil maka hanya menunggu waktu untuk diterapkan di semua unit instansi vertikal DJP. Penerapan CRM ini penting sebab jangan sampai kelompok ketiga ini berubah menjadi kelompok wajib pajak keempat, yaitu yang berusaha menghindari pajak dan melakukan penggelapan pajak. 

Yang menggembirakan, 90% responden sepakat bahwa praktik penghindaran pajak dan pengemplangan pajak adalah hal yang negatif. Menurut responden, itu adalah suatu perbuatan yang tidak adil bagi wajib pajak lain dan merupakan tindakan kriminal. Oleh karena itu, pelakunya harus ditindak tegas dan diberikan sanksi yang pantas. Selain itu, peningkatan keahlian Sumber Daya Manusia (SDM) untuk menangkal praktik ini juga perlu menjadi agenda utama dan merupakan salah satu upaya memperkokoh pilar reformasi perpajakan di bidang SDM.

Pada akhirnya, survei ini dapat dinilai sebagai sebuah awal yang baik dalam menjaring masukan dari para wajib pajak. Dengan mendapatkan gambaran otoritas pajak menurut persepsi wajib pajak, kiranya dapat dirumuskan strategi dan kebijakan yang dapat mendorong kepatuhan sekaligus meningkatkan pelayanan terhadap wajib pajak. Penilaian yang baik dan beberapa rekomendasi yang diberikan sejatinya adalah modal bagi otoritas pajak untuk makin menggaungkan reformasi yang sedang berjalan, tentu saja untuk mewujudkan institusi yang kuat, kredibel, dan akuntabel. (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.