Sumbangan Gempa Lombok, Mengurangi Beban Pajak bagi Perusahaan?

Oleh: Ahmad Dahlan, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Duka kembali melanda negeri ini. Lombok ditimpa gempa. Dua kali dalam waktu berdekatan. Yang tertama pada tanggal 28 Juli 2018, dengan kekuatan 6,4 skala richter. Yang kedua pada hari Minggu tanggal 5 Agustus 2018, dengan kekuatan 7 skala richter. Menurut informasi dari BMKG, gempa kedua ini 15 kali lebih kuat dari gempa pertama, akibatnya kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih parah.
Akibat kedua gempa ini, Lombok kini luluh lantak. Ribuan rumah hancur, sebagian besar rata dengan tanah. Sarana-sarana umum rusak parah. Sampai dengan Rabu tanggal 8 Agustus 2018, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) mencatat 131 orang meningal dunia. Selain itu, terdapt 1.477 orang mengalami luka berat dan sedang dirawat inap.
Ucapan duka dan empati datang dari tiap penjuru negeri. Sumbangan datang dari berbagai elemen masyarakat. Baik secara individu, kelompok masyarakat maupun instansi pemerintah. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak melalui surat resmi telah menginstruksikan kepada seluruh jajarannya untuk melakukan penggalanagan dana sukarela atas musibah gempa ini. Di samping itu, para pegawai Ditjen Pajak secara individu atau melalui kelompok-kelompok juga melakukan penggalangan dana untuk kemanusaian ini.
Perusahaan-perusahaan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR), biasanya ikut ambil bagian dalam membantu meringankan beban korban akibat bencana. Lalu, apakah bagi perusahaan (wajib pajak) sumbangan kepada korban bencana ini oleh ketentuan perpajakan dapat diakui sebagai pengurang dalam menghitung Pajak Penghasilan?
Sebagaimana kita ketahui, sacara umum dalam menghitung Pajak Penghasilan perusahaan, adalah tarif pajak dikalikan dengan penghasilan kena pajak. Penghasilan kena pajak ini didapat dari peredaran/penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang berhubungan dengan perolehan penghasilan tersebut. Pada umumnya, pemberian sumbangan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto karena dianggap tidak berhubungan dengan perolehan penghasilan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 Ayat (1) Huruf g Undang Undang Pajak Penghasilan.
Namun demikian, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010, pengeluaran untuk sumbangan-sumbangan tertentu oleh wajib pajak dapat dianggap sebagai biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Sumbangan tertentu dimaksud, diantaranya adalah sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional. Sumbangan ini merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui badan penanggulangan bencana atau disampaikan secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana. Dengan diakuinya pemberian sumbanagn sebagai pengurang pengahsilan bruto, maka berarti sumbangan ini mengurangi beban pajak bagi perusahaan.
Lalu, apakah gempa lombok merupakan bencana nasional sehingga atas pemberian sumbangan bagi perusahaan dapat meringankan beban pajak? berdasarkan Pasal 7 UU Nomor 24 tentang Penanggulangan Bencana, disebutkan bahwa pemerintah berwenang untuk menetapkan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah. Penetapan status dan tingkat bencana tersebut di antaranya memuat indikator jumlah korban, kerugian harta benda, dan kerusakan prasarana dan sarana. Masih menurut Pasal 7 UU ini, bahwa penetapan status tersebut diatur dengan Peraturan Presiden.
Namun sayangnya, sejauh yang penulis ketahui, sampai saat ini belum ada peraturan presiden yang mengatur standar pengategorian status bencana sebagaimana diamanahkan oleh Undang-undang Nomor 24 tersebut. Atas gempa Lombok, pemerintah juga belum menetapkan statusnya, apakah masuk ketegori bencana daerah atau bencana nasional.
Dari berita yang penulis dapat, Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) Fahri Hamazah meminta pemerintah pusat menaikan status gempa Lombok sebagai bencana nasional.
Demikian pula, Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) terpilih, Zulkieflimansyah, juga meminta pemerintah pusat memberi status gempa Lombok sebagai bencana nasional.
Menurut hemat penulis, melihat jumlah korban dan dampak yang ditimbulkan, gempa Lombok memang layak dikategorikan sebagai bencana nasional. Maka mari kita tunggu pemerintah menentapkan status gempa Lombok sebagai Bencana Nasional, agar sumbangan yang diberikan oleh wajib pajak dapat meringankan beban pajak.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
- 672 kali dilihat