Saatnya Samakan Pengajuan Utang dan NPWP

Oleh: Anang Purnadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Banyak alasan seseorang mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Antara lain persyaratan mencari pekerjaan, mendirikan usaha, mendapatkan beasiswa, diwajibkan oleh perusahaan dan lain-lain. Namun yang tidak kalah banyak, mendaftarkan diri sebagai syarat pengajuan utang atau pinjaman bank.
Salah satu kebijakan pemerintah dalam menumbuhkan dunia usaha khususnya untuk usaha mikro, kecil, dan menengah adalah dengan memberikan kredit dengan suku bunga yang rendah di bank-bank milik pemerintah. Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga pinjaman dibawah 5% per tahun tentu menarik para pelaku usaha kecil untuk penambahan modal guna membesarkan usahanya.
Peryaratan pengajuan cukup mudah antara lain usaha sudah berjalan minimal 6 bulan, tidak mempunyai pinjaman Bank lain, mempunyai NPWP untuk pinjaman 25 juta rupiah ke atas. Efek dari persyaratan pinjaman KUR ini berdampak meningkatnya jumlah pendaftar NPWP usahawan.
Dilema pada saat proses pendaftaran NPWP pada saat pengisian jumlah penghasilan kotor / peredaran usaha (omset) per bulan. Masih banyak yang mengisi kolom pilihan paling kecil, dibawah 2 juta rupiah per bulan. Angka yang sulit diterima jika dibandingkan dengan biaya hidup, jumlah anggota keluarga yang ditanggung, dan kemampuan membayar angsuran pinjaman bank tiap bulan.
Bisa dibayangkan, jika petugas pajak itu adalah petugas bank yang wewenangnya menyetujui atau menolak pengajuan utang dari nasabah. Dengan penghasilan kotor 2 juta dan pengajuan utang 25 juta sangat berpotensi menjadi kredit macet. Tentu pihak bank tidak mau mengambil risiko memberikan pinjaman kepada nasabah dengan kemampuan bayar rendah. Pengajuan utang tersebut niscaya akan ditolak sebelum dilakukan penelitian lapangan.
Beda bank beda Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dalam menyetujui atau menolak pengajuan pendaftaran NPWP. Pada saat pendaftaran NPWP usahawan diberikan penjelasan hak dan kewajiban menjadi wajib pajak. Antara lain kewajiban membayar pajak penghasilan sebesar 1% dari peredaran usaha per bulan sesuai Peraturan Pemerintah (PP) 46 Tahun 2013. Tarif pajak ini lebih akrab disebut tarif pajak UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah).
Diharapkan calon wajib pajak mengisi nilai peredaran usaha sesuai kondisi kenyataannya. Namun banyak wajib pajak yang merasa tarif 1% dari peredaran usaha terlalu besar dibanding dengan persentase keuntungan mereka. Pilihan terbaik menurut mereka adalah dengan memilih kolom penghasilan yang lebih kecil dibanding yang seharusnya. Banyak di antara mereka menyampaikan lisan kepada petugas bahwa omset sebenarnya maupun omset yang diajukan ke pihak bank lebih besar dibanding saat pengajuan NPWP.
Apakah kondisi tersebut akan dibiarkan?
Tanggal 22 Juni 2018 bertempat di Surabaya, Presidan Republik Indonesia, Joko Widodo meluncurkan PPh final untuk UMKM 0.5% dari peredaran bruto per bulan. Tarif ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 23 Tahun 2018. Perbedaan besar dari PP 46 Tahun 2013 adalah tarif pajak yang sebelumnya 1% diturunkan menjadi 0.5%.
Banyak alasan mengapa tarif pajak UMKM diturunkan menjadi 0.5 persen. Antara lain pemerintah mendengar keluhan dari para pengusaha kecil yang merasa berat dengan tarif 1 persen, dan lebih memberikan rasa keadilan. Dengan tarif lebih rendah, diharapkan lebih banyak masyarakat yang mau berkontribusi pada negara melalui pembayaran pajak.
Dengan berlakunya PP 23 Tahun 2018, diharapkan calon wajib pajak tidak lagi mengecilkan peredaran usaha pada saat pendaftaran NPWP, dan wajib pajak yang terlah terdaftar tidak mengecilkan laporan peredaran usahanya tiap bulan. Sesuai tagline “setengah persen, sepenuh hati” saat peluncuran diharapkan wajib pajak melakukan pembayaran pajak sesuai dengan yang seharusnya.
Sebelumnya jika calon wajib pajak mengisi peredaran usaha 2 juta rupiah perbulan, dengan harapan membayar pajak ‘hanya’ 20 ribu rupiah. Mulai bulan Juli 2018 calon wajib pajak tidak perlu takut lagi untuk mengisi peredaran usaha sesuai kenyataan. Dengan peredaran usaha 4 juta rupiah, pajak yang dibayar tetap ‘hanya’ 20 ribu rupiah.
Pengisian omset yang tidak sesuai hanya akan menjadi beban wajib pajak di kemudian hari. Data transaksi akan terekam dan masuk ke basis data perpajakan, sehingga informasi yang tidak benar cepat atau lambat akan diketahui. Semoga dengan berlakunya tarif setengah persen, calon wajib pajak tidak perlu lagi membedakan besaran osmet pada saat mengisi formulir pengajuan utang di bank dan pengajuan NPWP di kantor pajak.
Mari, dimulai dengan jujur.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
- 2425 kali dilihat