Para pahlawan pajak

Oleh: Mochammad Bayu Tjahono, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak 

Banyak dari kita waktu kecil jika ditanya cita-cita selalu menjawab ingin jadi polisi, tentara, pilot, dokter, guru, pengusaha namun sangat jarang bahkan tidak ada yang menjawab ingin menjadi petugas pajak. Akupun waktu kecil bercita-cita jadi dokter. Saat SMA aku juga mengambil jurusan biologi untuk mengejar cita-citaku. Sayangnya aku tidak serius dalam mengejarnya sehingga cita-cita itu pupus setelah aku lulus SMA.

Jujur saat itu hatiku kecewa, aku tidak bisa menyalahkan orang lain karena memang semua itu salahku. Meski gagal aku tetap bertekat ingin menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Tahun berikutnya aku mencoba lagi namun aku gagal, sedangkan adikku berhasil diterima di fakultas kedokteran sebuah universitas negeri ternama. Aku kubur dalam-dalam keinginanku untuk jadi dokter, dan berusaha lebih baik di kuliah manajemenku. Perjuangaku untuk kuliah juga bukan hal yang gampang dilalui. Aku harus bekerja sebagai sopir angkot untuk bisa membiayai kuliahku. Aku tidak menyalahkan orangtuaku kalau mereka lebih fokus membiayai kuliah adikku di kedokteran dibandingkan dengan aku.

Tanpa paksaan dari siapa pun aku putuskan untuk bekerja sambil kuliah. Tiga tahun tidak terasa aku menjalani pekerjaan sampingan itu. Tidak ada yang melirik aku apalagi melihat profesiku. Lebih baik aku fokus pada kuliahku, toh aku juga suka berhitung. Kuliah di jurusan manajemen tidak mengapa asal nantinya bisa menjadi anak yang berbakti.

Di semester tujuh aku mendapat tawaran untuk membantu dosen dalam hal penelitian. Pengalaman yang menarik dan aku bisa keliling pulau Jawa untuk melakukan survei. Di sini aku belajar akan banyak hal, banyak kehidupan di luar yang membuat aku makin mensyukuri akan hidupku. Orang dengan berbagai profesi menjalani hidupnya dengan penuh kebahagiaan dan dedikasi.

Melihat Kehidupan Lain

Takdir membawaku diterima di Direktorat Jenderal Pajak. Melalui serangkaian tes akhirnya menempatkanku disini. Meskipun keinginan menjadi dokter sudah aku kubur, namun kekagumanku akan profesi itu masih tinggi. Setiap melihat seorang dokter, mata ini selalu melihat dengan kagum. Selain itu beberapa profesi juga fantastis, seperti tentara dan polisi. Karena itu aku sangat menyukai film-film bertema patriotisme, selain jalan ceritanya simpel, ada banyak pelajaran hidup yang bisa kita ambil dari film-film heroik semacam ini. Dalam film itu selalu digambarkan apabila tugas memanggil maka kemanapun mereka akan pergi, ditinggalkan semua untuk membela negeri.

Tahun 2017 aku menonton film patriotik karya anak bangsa, seorang purnawirawan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) yang juga mantan Menteri Negara Pendayagunaan  Aparatur  Negara, Tiopan Bernhard Silalahi atau lebih sering dikenal dengan TB Silalahi, berjudul Merah Putih Memanggil yang ditayangkan pada peringatan HUT TNI.

Film tersebut bercerita tentang operasi pembebasan WNI di kapal pesiar yang disandera oleh sekelompok teroris. Dalam pembuatan film ini melibatkan pasukan Kopassus TNI AD, Marinir, Kopaska, Penerbang, KRI Diponegoro, kapal selam KRI Nanggala, dan Skadron pesawat tempur Sukhoi SU-30 dari TNI AU. Bintang film yang berperan antara lain Maruli Tampubolon, Mentari De Marelle, Verdy Bhawanta, Aryo Wahab, Restu Sinaga, dan Prisia Nasution.

Cerita dalam film ini tentang semangat nasionalisme dari para prajurit yang bertugas membela kehormatan bangsa dan negara dari ancaman teroris maupun lainnya yang menganggu kedaulatan bangsa. Kisah tentang keberanian, tekad, dan kesungguhan hati mau berkorban untuk orang lain, pertemanan dan persahabatan lintas suku, agama, ras dan golongan yang sudah melebur menjadi persaudaraan dalam ikatan Bendera Merah Putih, kesetiaaan dan ketaatan sampai mati.

“Lebih baik pulang nama daripada kalah dalam bertugas," itulah motto para prajurit TNI dalam hal ini Kapten Norman dan rekan-rekannya. Dalam kisah di film mereka mendapatkan tugas rahasia 2x24 jam di bawah kata "komando" untuk menyelamatkan sejumlah sandera yang beberapa merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) di sarang teroris Tongo pimpinan Diego (Aryo Wahab) dan kaki tangannya, Lopez (Restu Sinaga).

Di film ini kita bisa melihat betapa besarnya pengorbanan para prajurit. Mulai dari korban perasaan harus meninggalkan orang-orang terkasih, korban tenaga, pikiran, keringat, airmata, darah sampai pengorbanan nyawa. Kesetiaan pada sumpah jabatan sampai kesetiakawanan dengan taruhan nyawa menjadi bagian cerita dari film ini. Mengharukan sekaligus membanggakan.

Meski tidak dapat dikisahkan seperti film, namun perjuangan kami di Direktorat Jenderal Pajak juga tidak kalah heroiknya. Hampir di seluruh nusantara ada keterwakilan pegawai pajak di sana baik yang bertugas di Kantor Pelayanan Pajak maupun di Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan. Kami meninggalkan keluarga kami untuk bertugas di sana, entah sampai kapan kami bertugas di sana kami tidak tahu, yang kami tahu bahwa tugas kami mulia yaitu mengumpulkan pajak untuk pembangunan negara.

Bahkan ada dialog yang menarik antara ayah dan anak, "Pak besok aku nggak usah diberi uang jajan lagi," kata anak kepada bapaknya. Sang bapak menatap heran lalu bertanya "Kenapa nak?"

"Biar bapak tidak perlu pergi lagi, dan bisa temani aku di sini, aku nggak papa tidak mendapat uang jajan," kata si anak. Tidak sadar air mata menetes, "Nak, bapak harus bekerja, bukan hanya untuk menghidupi kamu tetapi juga untuk menjaga kelancaran pembangunan bangsa ini, memang bapak bukan tentara tetapi bapak turut menjaga kedaulatan bangsa ini melalui pajak," terang sang bapak sambil mendekap anaknya.

Pegawai Pajak juga Pejuang Bangsa

Bila selama ini pajak selalu diidentikkan dengan korupsi, dan memang beberapa kasus melibatkan oknum pegawai pajak, namun tidak sedikit dari pegawai pajak yang mendedikasikan hidupnya untuk bangsa. Cerita di atas bisa terjadi di setiap keluarga pegawai pajak dengan versi yang berbeda. Tidak ada adegan tembak-menembak dan adegan seru lainnya, namun perjuangan untuk meyakinkan masyarakat agar mau membayar pajak bukan hal yang mudah. Tidak sedikit dari kami yang mendapat makian maupun ancaman tetapi semua kami lakukan untuk menjalankan tugas negara.

Bulan Januari dan Oktober adalah bulan yang mendebarkan bagi para pegawai pajak. Kami menunggu kabar akan pindah tugas kemana lagi, karena kami memang tidak tahu. Dan hanya komitmen dan tekad kami yang besar saja sebagai benteng kami untuk terus menjunjung tinggi amanah negara.

Akhirnya aku memang sampai pada satu kesimpulan, tidak harus kita menjadi dokter, polisi atau tentara untuk dikatakan luar biasa. Menjadi pegawai pajak dengan dedikasi yang tinggi juga sudah merupakan patriot bangsa. Mereka rela berkorban jauh dari keluarga untuk menjalankan tugasnya, menjaga kehormatan Direktorat Jenderal Pajak dan negara. Bagi mereka tugas adalah kehormatan dan amanah yang meski dijalankan dan dijaga dimanapun mereka ditempatkan. Tidak ada kata mengeluh di mulut mereka kendati mereka jauh dari keluarga. Semua keluh kesah hanya disimpan di dalam hati, semua tangis hanya dibawa dalam doa kepada sang pencipta.

Mau tak mau aku jadi teringat pada teman-teman yang gugur dalam perjalanan menjalankan tugas. Ijinkan aku memanjatkan doa untuk mereka, Pratomo Wira Dewanto, Hesti Nuraini, Maria Ulfa, Rivandi Pranata, Junior Priadi, Ahmad Sukron Hadi, Tri Haska Hafidi, Firman Akbar, Rr Savitri Wulurastuti, Ari Budiastuti, IGA Ngurah Metta Kurnia, dan Nicko Yoha Marent Utama. Dan akhirnya, aku dedikasikan artikel ini pada seluruh teman-teman yang telah dengan dedikasi yang tinggi menjalankan tugas negara.

Meski jasad mereka tidak ditemukan dan dimakamkan, bukan berarti jasa mereka terlupakan. Bagi mereka yang gugur memperjuangkan amanah bangsa dan negara, kami berjanji untuk tak akan pernah lupa. Keringat, air mata, dan nyawa teman-teman takkan pernah sia-sia. Karena kita semua Indonesia, Pancasila dan kita semua membela Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jangan nilai kami dari sedikit teman-teman kami yang telah mengkhianati kami, tetapi nilailah kami dari perjuangan ribuan teman-teman kami di seluruh nusantara. Kami tidak minta untuk dielu-elukan sebagai pahlawan, kami hanya ingin diterima sebagai bagian yang ikut berjuang mempertahankan Negara. Bukan PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad) sebutan buat kami namun Pergi Cinta Negara dan Pulang Karena Cinta Keluarga, kami berangkat ke tempat tugas karena cinta pada negara Indonesia dan kami pulang Jumat karena cinta pada keluarga kami. (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.