Amnesti pajak yang baru saja berlalu tidak melulu bertutur tentang gebyar jumlah uang tebusan, nilai repatriasi, maupun besarnya harta yang dilaporkan. Amnesti juga menyelipkan banyak cerita, baik dari sisi petugas maupun wajib pajak. Sebagian orang berpandangan bahwa amnesti pajak hanya ditujukan bagi wajib pajak yang memiliki "dosa" masa lalu, yaitu penghasilan yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Pandangan yang sebetulnya kurang tepat. Banyak wajib pajak yang mengikuti untuk memperoleh manfaat lain amnesti pajak, yakni penghapusan sanksi administrasi dan menghindarkan diri dari kemungkinan diperiksa sampai dengan tahun pajak 2015. Meskipun tidak mengikuti pendapat bahwa wajib pajak yang mengikuti amnesti pajak pasti memiliki dosa masa lalu, saya merasa tak terlalu berselisih pandang. Hakikatnya masih sama, amnesti adalah sarana bagi wajib pajak untuk mendapat manfaat. Hasrat duniawi yang lekat dibalut budaya transaksional. Sampai suatu pagi, seorang kawan memanggil saya untuk melayani wajib pajak di ruang konsultasi. Secara garis besar terdapat tiga macam tugas dalam pelayanan amnesti pajak: konsultasi, penerimaan, dan penelitian. Tugas saya sebenarnya sebagai peneliti Surat Pemberitahuan Harta, tetapi di kantor kami yang wajib pajaknya tidak terlalu banyak, sekat antarposisi tidak terlalu membatasi. Karena terdapat beberapa wajib pajak yang mengantre, saya pun beralih posisi menerima konsultasi. Seorang lelaki paruh baya duduk di depan saya. Perawakannya sedang, cenderung kurus, dan berpenampilan rapi. Sekilas saya melihat sepatunya pun tersemir hitam mengilat. Rambutnya mulai menipis dengan uban di sana-sini. Tutur katanya halus, pembawaannya tenang, akan tetapi bahasa tubuhnya menunjukkan isyarat penolakan. Setelah pembicaraan singkat terungkaplah identitas si bapak, seorang guru besar di sebuah universitas ternama di Malang. Sang Profesor –sebut saja begitu- dengan lugasnya berkata, "Saya tak pernah percaya pada birokrasi di Indonesia." Lalu meluncurlah cerita dari Sang Profesor tentang pendidikan pascasarjana yang dia tempuh di Jepang. Lengkap dengan penggambaran betapa tertibnya segala sesuatu di sana, termasuk perilaku aparat pemerintahannya. Dia lalu membandingkan pengalamannya berurusan dengan birokrasi di Indonesia selama ini. Saya berusaha tidak menyela pembicaraan. Walaupun tidak memiliki kemampuan yang mumpuni di bidang komunikasi, namun saya tahu ada saatnya kita harus berusaha tidak melawan arus. Baru setelah itu kita mencari kesamaan frekuensi, lalu berusaha membelokkan arah menuju yang kita inginkan. Saya mendengarkan dengan sepenuh hati cerita tentang masa-masa kuliah di Jepang, tentang beberapa penelitian yang dia lakukan, hingga tentang keluarga besarnya yang memiliki pesantren di ujung timur Pulau Jawa. Hampir satu jam kemudian, setelah melihat Sang Profesor merasa nyaman, barulah saya membahas tentang formulir amnesti pajak yang dia bawa. Hasil cetakan komputer yang pengisiannya belum sesuai aturan. "Formulir ini Bapak isi sendiri atau ada yang mengisikan?" tanya saya. "Saya isi sendiri, saya terbiasa mandiri," jawab Sang Profesor. Saya menjelaskan beberapa kesalahan yang terjadi dalam pengisian formulirnya. Sebenarnya penjelasan saya normatif belaka, hanya mengikuti aturan yang ada. Namun sepertinya hal itu kembali memantik kekesalan Sang Profesor. Dia menjelaskan bahwa kedatangannya hari itu merupakan kedatangan yang ketiga kalinya. "Tiap kali saya datang, petunjuk dari petugasnya beda-beda!" ujarnya. Sebelum suasana memanas, pembicaraan pun kembali saya alihkan sambil berusaha menetralisasi keadaan. Sampai suatu titik, Sang Profesor mengatakan bahwa banyak koleganya yang menanyakan untuk apa ikut amnesti? Toh, dia dan kolega-koleganya bukan pengusaha, pun bukan orang yang bergelimang harta. Gaji dan penghasilan terkait status sebagai PNS juga telah dipotong pajak. "Lalu Bapak bilang apa ke mereka?" tanya saya penasaran. "Saya selalu mengajarkan kepada anak-anak saya untuk hanya makan rezeki yang halal. Saya juga harus menjadi contoh bagi mereka," jawab Sang Profesor. Saya sedikit tertegun, "Maksud Bapak?" "Pajak itu kan pada hakikatnya urunan seluruh rakyat yang manfaatnya pun akan kembali ke seluruh rakyat. Di sana ada hak orang lain, ada juga hak anak yatim dan fakir miskin. Saya merasa tidak pernah mengemplang pajak. Tapi siapa tahu, selama ini mungkin ada yang terlewat. Mumpung ada pengampunan," kata Sang Profesor panjang lebar. "Saya tidak mau menahan hak orang lain, terlebih hak anak yatim dan fakir miskin. Dengan ikut amnesti ini, saya ingin meyakinkan diri sendiri bahwa harta yang saya makan sudah benar-benar halal," lanjut profesor tadi. Sejenak saya merasa seperti tersiram air dingin. Saya tak menyangka ada wajib pajak yang berpikiran seperti ini. Entah kebetulan atau tidak, perbincangan saya dengan Sang Profesor terjadi di hari Jumat, hari yang dipercaya umat Islam sebagai hari penuh berkah. Waktu makin beranjak siang. Saya persilakan Sang Profesor untuk pulang. Setelah isian formulir amnesti itu telah diperbaiki, saya menjanjikan kepadanya untuk mengantarkan sendiri isian itu ke kampus tempatnya mengajar. Hal ini memang tidak ada dalam prosedur yang disyaratkan, namun saya merasa berutang terima kasih untuk sedikit ilmu yang saya dapatkan. Terlebih lagi, perbincangan tadi menambah keyakinan saya akan Indonesia yang makin baik di masa depan. Tobagus Manshor Makmun, KPP Pratama Batu