Oleh: Andi Zulfikar, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Salah satu karakteristik dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah sebagai pajak tidak langsung. Secara yuridis, tanggung jawab penyetoran pajak tidak berada di pihak yang mengonsumsi barang atau jasa, namun berada di pihak pengusaha yang telah ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dalam hal ini, bila pembeli atau pemakai jasa telah melaksanakan kewajibannya, yakni melakukan pembayaran pajak yang terutang kepada PKP, maka tanggung jawabnya secara hakikatnya sudah dilaksanakan. Tanggung jawab tersebut seharusnya telah berada di tangan PKP tersebut.

Karena tanggung jawab penyetoran pajak berada di tangan PKP, maka negara berusaha menerapkan prinsip keadilan dalam penyetoran pajak tersebut. Pajak yang dipungut oleh PKP yakni Pajak Keluaran dapat dikreditkan dengan pembayaran pajak yang dilakukan oleh PKP tersebut sebagai pengonsumsi barang atau jasa yakni Pajak Masukan.

 

Pentingnya Faktur Pajak

                Ketika melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, pembuatan Faktur Pajak menjadi hal yang penting. Karena Faktur Pajak menjadi bukti pungutan pajak yang sah dalam peristiwa penyerahan tersebut. Hal ini bila ditinjau dari sisi PKP yang melakukan penyerahan  Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.

                Dari sisi yang lain, dari sisi pembeli Barang Kena Pajak atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak, adanya Faktur Pajak menjadi hal sangat penting pula. Faktur Pajak menjadi alat atau sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Tanpa Faktur Pajak, maka pembeli Barang Kena Pajak atau pemanfaat Jasa Kena Pajak tidak dapat melakukan proses tersebut.

                Mengingat pentingnya Faktur Pajak, maka sudah seharusnya Pengusaha Kena Pajak harus menghindari pembuatan Faktur Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material. Pembuatan dan penggunaan Faktur Pajak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, hanya akan merugikan Pengusaha Kena Pajak tersebut. Banyak sanksi yang akan menanti yang tidak hanya menimbulkan kerugian waktu dan material, namun juga dapat mengarah ke sanksi pidana.

Sanksi pajak dapat diterbitkan salah satunya melalui pemeriksaan pajak. Patut dipahami, hakikat pemeriksaan adalah menguji kepatuhan. Sehingga bila wajib pajak telah patuh dengan peraturan perpajakan, maka tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Salah satu wujud kepatuhan adalah pelaporan SPT Masa PPN sesuai dengan ketentuan perpajakan. Bukan hanya ada kewajiban dalam pelaporan tersebut, namun juga ada hak.  Salah satu kewajibannya adalah dalam bentuk melaporkan Pajak Keluaran dan haknya adalah dalam bentuk mengkreditkan Pajak Masukan.

 

Ketika Pemeriksaan Tiba

                Pemeriksaan dilakukan dengan dasar undang-undang. Keadilan dan kepastian hukum terwujud ketika fiskus melakukan kegiatan penegakan hukum ini melalui cara yang telah diatur dalam peraturan perpajakan.  Fiskus dapat mengeluarkan sanksi bila terbukti Wajib Pajak yang diperiksa melakukan pelanggaran. Beberapa sanksi dimaksud disebutkan dalam UU KUP.  Salah satunya adalah penerbitan Surat Tagihan Pajak atas sanksi administrasi berupa denda 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak bagi pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu.

                Permasalahan lain setelah pemeriksaan adalah pengkreditan Pajak Masukan. Pasal 9 ayat (2) UU No. 42 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama. Pajak Masukan yang belum dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama tiga bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

                Lalu, bagaimana seandainya telah terjadi pemeriksaan? Dalam pasal 9 ayat (8) huruf i disebutkan bahwa perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan tidak dapat dilakukan pengkreditan Pajak Masukan.

                Untung Sukardji menjelaskan, kriteria ini ditujukan pada Faktur Pajak yang diterima sudah melampaui jangka waktu 3 (tiga) bulan sehingga pengkreditan Pajak Masukannya dilakukan dengan cara pembetulan SPT Masa PPN.  Wajib Pajak yang belum melakukan pengkreditan sampai dengan dilakukan pemeriksaan terhada SPT Masa PPN akan berakibat Pajak Masukan yang tercantum pada Faktur Pajak yang ditemukan dalam pemeriksaan tidak dapat dikreditkan.

 

Kesimpulan

                Dari tulisan di atas, penulis beranggapan wajib pajak, khususnya yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), perlu untuk mengetahui dan melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya agar pembayaran pajaknya dapat direncanakan dengan baik. Salah satunya dengan pembuatan dan dokumentasi Faktur Pajak serta penyetoran pajak dan yang sesuai ketentuan.

                Pembayaran pajak adalah untuk kepentingan kita semua. Oleh karenanya kesadaran untuk menambah ilmu perpajakan bukan hanya kewajiban dari fiskus tetapi juga dari Wajib Pajak. Salah satunya adalah dengan memberi masukan bila tulisan ini masih terdapat kekurangan. Dengan demikian, akan terwujud rakyat Indonesia yang saling mendukung dalam mencapai tujuan penerimaan perpajakan yang dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

               

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.