Membersihkan Negara Melalui Institusi Pemungut Pajak Yang Kuat dan Kredibe

Oleh: Muh. Tunjung Nugroho, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Kondisi negara tercinta kita Indonesia secara umum nampak kemajuannya kurang cepat (baca: tidak ada kemajuan/ajeg). Betul memang ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan tetapi jika diperhatikan betul fakta di lapangan bahwa yang terjadi adalah orang miskin tidak sedikit, orang yang tidak bisa berobat juga masih banyak, orang yang tidak bisa sekolah atau putus sekolah pun tidak pernah habis bahkan orang yang tidak bisa makan pun masih ada. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Apakah yang menjadi penyebab utamanya (akar masalahnya)?

Beberapa pihak dan pengamat (termasuk Penulis sendiri) berpendapat bahwa hal itu terjadi karena adanya mis-alokasi pengeluaran negara (baca: penggerogotan uang negara) melalui berbagai modus dan cara. Hal ini dapat dibuktikan dengan semakin banyaknya tayangan televisi atau berita dalam media elektronik yang hampir setiap hari menginformasikan kasus penyalahgunaan penggunaan uang negara. Yang muncul di televisi dan media elektronik hanyalah kasus yang terdeteksi dan terekspos oleh media. Kasus-kasus yang belum terdeteksi bukan berarti tidak ada. Bisa jadi merupakan suatu gunung es yang baru kelihatan ujungnya saja.

Uang negara yang dikumpulkan dari pajak tidak dikelola dan dialokasikan secara baik dan bijak sehingga kemanfaatan yang dihasilkan bagi masyarakat tidak maksimal. Seperti diketahui bahwa setiap tahun penerimaan pajak selalu meningkat, yang berarti belanja (pengeluaran negara) juga semakin meningkat, tetapi pemerataan kesejahteraan masih jauh panggang dari api. Pertanyaan yang kembali muncul adalah sampai kapan hal ini akan terjadi? Bagaimana cara yang paling efektif untuk menghentikan praktik mis-alokasi pengeluaran negara tersebut? Apakah dengan cara-cara yang saat ini ada, yang sudah berjalan hampir 15 tahun sejak reformasi, masih akan tetap dipertahankan?

Melalui tulisan ini Penulis mencoba menyampaikan gagasan untuk menghentikan mal-praktik yang terjadi di negara ini baik dalam bentuk korupsi, penyelundupan, pencucian uang (money laundering) dan sebagainya. Gagasan tersebut merupakan judgement Penulis berdasarkan pengalaman selama 20 tahun menjadi abdi negara melalui PNS Kementerian Keuangan. Gagasan tersebut juga merupakan harapan Penulis untuk bisa direalisasikan sehingga negara tercinta ini bersih dari segala mal-praktik sehingga dapat menjadi negara yang kuat dan mandiri. Penulis menawarkan gagasan berupa “Membersihkan Negara melalui Institusi Pemungut Pajak yang Kuat dan Kredibel”.

Penulis berkeyakinan bahwa melalui Institusi Pemungut Pajak yang kuat, mandiri, kredibel, dan akuntabel maka negara Indonesia yang tercinta akan bersih dari praktik-praktik undergroundeconomy sehingga tidak diperlukan lagi lembaga-lembaga seperti KPK, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, dan Komisi Yudisial. Jika institusi pemungut pajak yang notabene dapat mengakses ke seluruh sektor dan transaksi ekonomi baik individu maupun badan atau korporasi diletakkan pada posisinya dan diberi kewenangan sebagaimana mestinya, maka tidak ada lagi ruang bagi masyarakat untuk melakukan tindakan underground (korupsi, kolusi, pencucian uang) karena pada ujungnya akan dapat dideteksi oleh institusi pemungut pajak melalui pemungutan pajak.

Kemandirian Negara dan Pemungutan Pajak

Kita semua pasti sepakat bahwa antara kemandirian negara dengan pemungutan pajak merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara yang mandiri adalah negara yang mampu membiayai kebutuhannya sendiri tanpa berhutang kepada pihak lain. Agar sebuah negara tidak berhutang maka negara tersebut harus mampu menggali dan mengumpulkan sumber-sumber penerimaan sendiri baik yang berasal dari pungutan kepada warga negaranya maupun berasal dari pengelolaan kekayaan alam. Hal ini selaras dengan amanat konstitusi negara kita, yaitu termaktub dalam Pasal 23A dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 23A berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”. Sedangkan Pasal 33 ayat (2) dan (3) masing-masing berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Jelas bahwa kedua pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bagi penyelenggaraan negara baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif serta landasan bagi seluruh rakyat Indonesia bahwa negara ini harus dibangun dengan kemandirian dan bukan utang. Dengan demikian, apabila kita menjalankan amanat konstitusi tersebut maka yang terjadi adalah negara tidak boleh menumpuk utang tetapi harus memaksimalkan sumber-sumber pendapatan sendiri. Namun sampai dengan saat ini, yang terjadi adalah utang negara kita semakin besar dan bisa dipastikan bukan kemandirian yang terjadi tetapi ketergantungan kepada pihak lain.

Data penerimaan dan utang negara kita selama 12 tahun terakhir dapat ditunjukkan dalam tabel berikut (dalam triliun rupiah):

No

Tahun

Penerimaan Negara

Utang Negara

1

2004

403,1

1.299

2

2005

493,9

1.313

3

2006

636,2

1.302

4

2007

706,1

1.389

5

2008

979,3

1.636

6

2009

847,1

1.590

7

2010

992,2

1.676

8

2011

1.205,3

1.803

9

2012

1.332,3

1.975

10

2013

1.497,5

3.037

11

2014

1.550,5

2.898

12

2015

1.491.5

3.089

Sumber : Data diolah dari APBN

          Dari tabel tersebut di atas, dapat dilihat bahwa untuk membiayai negara ini sumber pendanaan dari utang selalu lebih besar daripada penerimaan sendiri. Selain itu, jumlah utang negara kita juga cenderung semakin meningkat. Kondisi ini tentunya menyebabkan ruang fiskal APBN kita semakin sempit sehingga sulit untuk menjamin kemandirian negara. Seperti diketahui bersama bahwa APBN merupakan instrumen utama bagi pemerintah dalam melaksanakan fungsinya dalam perekonomian negara, yaitu fungsi alokasi (allocation of resources), distribusi (distribution of income and wealth), dan fungsi stabilisasi (stabilization of economy and high level employment).

          Untuk menjalankan fungsi-fungsi tersebut, pemerintah memerlukan APBN yang kuat dan sustainable dalam arti memiliki sumber-sumber dana yang cukup untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah terutama untuk kepentingan belanja publik. Dengan penerimaan negara yang besar (APBN mengalami surplus), pemerintah akan memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam melakukan alokasi sumber daya sehingga pemerintah dapat mengambil berbagai alternatif kebijakan yang memberikan dampak kesejahteraan kepada masyarakat. Sebaliknya, jika sumber penerimaan yang dimiliki oleh pemerintah terbatas (APBN mengalami defisit), maka pemerintah juga akan dihadapkan pada keterbatasan alternatif kebijakan sehingga alokasi sumber daya harus dilakukan secara hati-hati dan tepat sasaran.

          Agar memiliki APBN yang kuat dan sustainable maka pemerintah harus kreatif untuk menciptakan sumber-sumber penerimaan yang baru dan/atau mengintensifkan sumber-sumber penerimaan yang telah ada baik dari penerimaan migas maupun non migas (khususnya penerimaan perpajakan). Pemerintah harus berusaha seminimal mungkin membiayai APBN dari penerimaan pinjaman baik pinjaman dalam negeri maupun luar negeri sehingga pemerintah tidak megalami jebakan utang (debt trap).

          APBN yang kuat dan sustainable itulah hakikat dari kemandirian negara. Dan hal tersebut hanya akan terwujud jika penerimaan dalam negeri khususnya dari pemungutan pajak dapat dilakukan secara maksimal. Pemungutan pajak yang maksimal hanya dapat dicapai dengan institusi pemungut pajak yang kuat dan kredibel dengan kewenangan yang cukup.

 

Negara Memerlukan Institusi Pemungut Pajak dan Regulasi Pemungutan Pajak yang Kuat

          Uraian di atas memperjelas bahwa kemandirian negara hanya akan terwujud jika ditopang oleh penerimaan negara (khususnya penerimaan pajak) yang maksimal. Syarat agar negara memperoleh sumber pendanaan dari pajak secara maksimal maka negara harus menyelenggarakan dan membangun sistem pemungutan pajak yang kredibel dan kuat. Hal ini penting agar seluruh potensi dan transaksi ekonomi baik yang dilakukan secara individual maupun korporasi dapat terdeteksi dengan baik sehingga seluruh potensi pajak yang ada dapat direalisasikan. Jika negara berhasil merealisasikan seluruh potensi pajak menjadi penerimaan negara, hal ini menunjukkan bahwa seluruh wajib pajak telah memenuhi kewajiban pajaknya (tax compliance tinggi) sehingga tax gap akan menjadi nol.

          Dengan demikian, hal terpenting dan krusial dalam membangun negara yang kuat dan mandiri adalah harus membangun sistem pemungutan pajak yang juga kredibel, kuat, dan tepat. Secara garis besar ada dua hal utama yang harus diperhatikan dalam membangun sistem pemungutan pajak, yaitu bagaimana bangunan software-nya (perangkat lunak) dan harus seperti apa hardware-nya (perangkat keras). Perangkat lunak yang harus dibangun anatara lain terkait dengan regulasi (peraturan perundang-undangan), sumber daya manusia, administrasi peprajakan, dan kebijakan perpajakan. Sedangkan perangkat keras antara lain berupa institusi, infrastruktur, dan teknologi informasi.

          Sistem pemungutan pajak yang dibangun, baik dalam bentuk self assesment maupun official assesment, harus mampu menjamin dan memastikan bahwa seluruh wajib pajak akan membayar pajak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Sistem tersebut harus mampu mendeteksi setiap gerak-gerik wajib pajak dan transaksi ekonominya sehingga wajib pajak menjadi patuh dalam melakukan pembayaran pajak ke negara.

          Oleh karena itu, jika negara kita tetap menganut sistem self assesment dalam pemungutan pajak seperti yang dianut pada saat ini maka negara harus membangun regulasi dan infrastruktur yang memungkinkan institusi pemungut pajak mampu mengontrol dan mengawasi setiap kegiatan usaha dan transaksi ekonomi yang dilakukan oleh wajib pajak. Jika institusi pajak mampu melakukan hal tersebut, maka ruang gerak wajib pajak untuk menghindari pemungutan pajak atau merekayasa pembayaran pajak akan semakin sempit.

          Agar institusi pemungut pajak mampu mendeteksi dan mengawasi setiap kegiatan dan transaksi ekonomi wajib pajak maka negara harus menjadikan institusi pemungut pajak sebagai lembaga yang paling penting dan kuat di negara ini. Hal tersebut tentunya juga harus ditopang dengan regulasi yang kuat yang memberikan kewenangan khusus kepada institusi pemungut pajak untuk mengakses setiap kegiatan dan transaksi ekonomi yang ada dalam masyarakat. Hal ini juga penting untuk menjamin keadilan, kepastian, dan transparansi dalam pemungutan pajak.

          Hanya dengan institusi pemungut pajak yang kuat serta didukung oleh regulasi perpajakan yang juga kuat maka kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak akan terjamin. Jika institusi pemungut pajak dikerdilkan ditambah lagi dengan regulasi perpajakan yang memangkas dan membatasi kewenangan fiskus dalam mengawasi dan mendeteksi gerak-gerik wajib pajak maka jangan diharapkan pemungutan pajak akan maksimal yang akhirnya jangan berharap negara kita akan mandiri.

          Dengan dianutnya self assesmentsystem, yaitu suatu sistem yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melapor pajaknya sendiri, Penulis melihat bahwa kondisi regulasi dan infrastruktur perpajakan yang ada di negara kita saat ini sangat tidak mendukung penerapan sistem tersebut. Kunci keberhasilan sistem tersebut adalah terjaminnya check and balance pemenuhan kewajiban pajak oleh institusi perpajakan. Dengan mekanisme check and balance tersebut maka underground transaction, rekayasa transaksi, dan sejenisnya akan dengan mudah terdeteksi sehingga akan memaksa wajib pajak untuk melaksanakan kewajibannya dengan benar. Untuk dapat menciptakan mekanisma check and balance, negara harus menyediakan infrastruktur yang memadai dan menciptakan transparansi kegiatan ekonomi masyarakat sehingga tidak ada lagi ruang gelap sebagai tempat transaksi.

          Penulis mencoba menginventarisir langkah-langkah apa yang harus dilakukan oleh negara kita untuk membangun institusi dan regulasi pemungutan pajak yang kuat dalam kerangka self assesment system, yaitu:

  1. 1. Melakukan Amnesty Nasional

Negara harus segera melakukan Amnesti Nasional (bukan hanya sekedar Sunset Policy atau tax amnesty) sebagai media untuk melakukan taubat nasional dan memberikan pengampunan kepada seluruh rakyat Indonesia. Amnesti Nasional merupakan langkah krusial dan momentum untuk membangun kejujuran dan transparansi dari seluruh transaksi/kegiatan ekonomi masyarakat yang selama ini tidak terdeteksi sehingga menjadi muncul ke permukaan dan semuanya menjadi terbuka. Dengan Amnesti Nasional maka kegiatan/transaksi ekonomi yang selama ini beroperasi secara underground sehingga tidak pernah membayar pajak menjadi muncul dan akan membayar pajak. Semua harta, dari manapun sumbernya baik halal maupun tidak, yang selama ini tidak terdeteksi dan tidak dilaporkan sehingga tidak pernah dibayar pajaknya akan dipaksa untuk muncul dengan membayar denda dan diampuni kesalahannya. Melalui Amnesti Nasional (pengampunan nasional) maka negara tidak perlu mengeluarkan energi/biaya yang besar untuk mendorong masyarakat transparan karena tidak harus melakukan penindakan atau pengejaran seperti yang saat ini dilakukan baik oleh KPK, Kejaksaan, maupun Kepolisian yang faktanya tidak akan pernah habis dan yang muncul hanyalah tebang pilih dan adu nasib.

  1. 2. Membangun Bank Data Nasional dengan Single Identity Number (SIN)

Setelah dilakukan Amnesti Nasional sehingga semua sumber ekonomi dan transaksi muncul ke permukaan dan terdeteksi, maka selanjutnya harus dibangun suatu bank data nasional dengan Single Identity Number (SIN) untuk menjamin dan menjaga bahwa transparansi dan akuntabilitas transaksi ekonomi tetap berjalan. Tanpa ada bank data nasional dengan SIN maka ruang-ruang gelap tempat masyarakat bertransaksi akan tetap ada dan hal ini menjadi kontraproduktif dengan Amnesti Nasional. Oleh karena itu, negara harus membangun sistem yang memungkinkan setiap transaksi atau kegiatan masyarakat dapat diketahui dan dideteksi oleh negara melalui identitas tunggal. Dengan identitas tunggal tersebut maka gerak-gerik masyarakat akan tercatat sehingga dengan mudah terdeteksi Si X ke luar negeri, membeli rumah mewah, membeli mobil mewah, dan melakukan transaksi apapun akan tercatat dan terdeteksi. Dengan demikian, maka dengan mudah negara (termasuk institusi perpajakan) dapat segera mengecek dari mana sumber penghasilannya, apakah dari sumber yang halal atau sumber yang diharamkan seperti korupsi dsb, serta memungut pajaknya. Dengan terbangunnya bank data nasional tersebut secara otomatis akan menghilangkan niat orang untuk melakukan transaksi-transaksi ilegal karena pasti akan terdeteksi.

  1. 3. Akses Data Tidak Terbatas Untuk Kepentingan Perpajakan

Memberikan kewenangan kepada Institusi Pemungut Pajak untuk melakukan akses yang tidak terbatas kepada Bank Data Nasional sehingga aparat pajak dapat menelusuri setiap transaksi dan kegiatan ekonomi masyarakat untuk memastikan pembayaran pajaknya telah benar. Hal ini penting karena pemungutan pajak memiliki ruang gerak yang luas dan mencakup seluruh kegiatan ekonomi rakyat baik individu maupun korporasi. Dengan demikian, hanya aparat pajak yang dapat menelusuri dan mengecek setiap transaksi ekonomi dan gerak gerik yang dilakukan oleh masyarakat individu maupun korporasi untuk mengusut pajaknya.

  1. 4. Mengintegrasikan Fungsi PPATK ke Institusi Pemungut Pajak.

Pada saat ini PPATK memiliki akses langsung kepada Perbankan dan Lembaga Keuangan serta Penyedia Jasa Keuangan. Peran PPATK saat ini adalah sebagai analis transaksi keuangan dan dalam hal terapat indikasi tindak pidana pencucian uang maka kasus tersebut diserahkan kepada Aparat Penegak Hukum. Dengan peran yang demikian maka fungsi dan manfaat data dan hasil analisis PPATK sangat minimal bagi negara karena hanya untuk kepentingan penindakan. Peran dan fungsi PPATK tersebut sangat penting dan sangat beririsan dengan peran DJP karena DJP harus mempu mengawasi dan mengusut semua transaksi Wajib Pajak baik Badan maupun Orang Pribadi. Kontrol terhadap kewajiban perpajakan akan sangat efektif apabila Instutusi Pemungut Pajak dapat melakukan kontrol terhadap transaksi keuangan.

Apabila peran dan fungsi PPATK diintegrasikan kepada Institusi Pemungut Pajak maka Institusi Pemungut Pajak akan dapat memanfaatkan data dan hasil analisis transaksi keuangan tersebut untuk kepentingan pemungutan pajak sehingga ruang gerak Wajib Pajak yang tidak patuh akan semakin sempit. Semua transaksi keuangan akan dapat diakses untuk kepentingan perpajakan sehingga tidak ada lagi assymetric information yang akan berdampak pada kemampuan DJP untuk mendeteksi profil Wajib Pajak yang sesungguhnya. Hal tersebut akan meminimalkan peluang dan ruang gerak Wajib Pajak untuk menutup-nutupi usaha dan transaksi keuangan sehingga secara otomatis akan mendorong kepatuhan Wajib Pajak.

  1. 5. Membentuk Lembaga Pengawas Institusi Pemungut Pajak Yang Independen dan Kredibel

Dengan peran dan fungsi Institusi Pemungut Pajak seperti tersebut di atas maka dapat dipastikan lembaga tersebut akan mampu mendeteksi setiap potensi pajak yang selama ini tersembunyi atau disembunyikan oleh Wajib Pajak. Kemampuan deteksi tersebut akan berbanding lurus dengan peningkatan kepatuhan Wajib Pajak. Untuk mencegah terjadinya mal praktik dalam Institusi Pemungut Pajak maka perlu dibentuk lembaga khusus yang independen untuk melakukan pengawasan terhadap gerak gerik aparat pajak, pengawasan profil aparat pajak, pengawasan operasional dan pengawasan kinerja Institusi Pemungut Pajak.

 

Institusi Pemungut Pajak yang Kuat Akan Membersihkan Negara

Berdasarkan uraian tersebut di atas, Penulis berkeyakinan bahwa dengan institusi pemungut pajak yang kuat dan kewenangan yang memadai maka dengan sendirinya akan membersihkan negara ini dari praktik-praktik underground economy seperti korupsi, manipulasi, suap menyuap, dan pencucian uang. Hal ini disebabkan karena kewajiban pembayaran pajak akan menyentuh seluruh sisi kehidupan masyarakat baik individu maupun korporasi, baik formal maupun informal. Dalam pemungutan pajak, institusi pemungut pajak dapat menelusuri dan mengusut pembayaran pajak seluruh masyarakat dengan menelusuri sumber-sumber penghasilannya, menelusuri asal-usul kepemilikan hartanya, menelusuri seluruh transaksinya hanya dengan mendasarkan pada data informasi yang bersumber dari bank data nasional yang telah dibangun.

Dengan demikian, jika bank data nasional terbentuk, PPATK diintegrasikan ke Institusi Pemungut Pajak, dan institusi pemungut pajak diperkuat melalui pemberian akses yang tidak terbatas terhadap bank data tersebut maka dengan mudah institusi pajak akan mengendus dan mendeteksi wajib pajak yang memiliki harta berlimpah atau kegiatan usaha yang besar tetapi tidak sebanding dengan penghasilan dan pembayaran pajaknya. Hal ini lambat laun akan memaksa masyarakat untuk tidak melakukan tindakan-tindakan kotor berupa suap menyuap, korupsi anggaran, atau praktik pencucian uang karena ujungnya akan terdeteksi oleh institusi pajak melalui pengusutan harta, pengusutan transaksinya, pengusutan kegiatan ekonominya, dan kewajiban pajaknya.

Akhirnya, seperti yang saya sampaikan bahwa masyarakat akan takut korupsi, takut melakukan suap menyuap, takut melakukan money laundering karena takut ketahuan institusi pajak melalui pengusutan kewajiban pajaknya. Oleh karena itu, negara harus membangun institusi pemungut pajak yang kuat dan meletakkan institusi tersebut sebagai lembaga yang penting untuk menjaga kemandirian negara sebagai amanat konstitusi. Dengan kondisi seperti itu maka lembaga seperti KPK, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, Komisi Yudisial tidak perlu ada karena tugas pengawasan dan pengusutannya dapat tergantikan oleh institusi pajak melalui pengusutan pajak yang bersumber dari bank data nasional.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.